Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID
PRESIDEN PRABOWO SUBIANTO berpidato di mimbar, di hadapan ribuan kader Partai Golkar pada Puncak Perayaan HUT ke-61 partai itu, Jumat, 5 Desember 2025 malam di Istora Senayan, Jakarta.
Dengan cara dan gaya yang khas: tenang, tetapi penuh energi menyebut nama Bahlil Lahadalia, Ketua Umum Partai Golkar yang juga Menteri ESDM. Ekspresi Presiden Prabowo berubah, ada kehangatan dan ketulusan yang sulit disembunyikan.
“Pak Bahlil ini memang harus saya akui orang yang sangat cerdas… semua acara sangat detail dan beliau turun langsung ke lapangan,” begitu tende Presiden Prabowo.
“Orang Indonesia Timur itu memang sifatnya itu setia, keras-keras. Tapi kalau sudah menetapkan hatinya, dia setia sampai mati. Ini ciri khas orang Indonesia Timur,” tende Presiden Prabowo lagi.
Tak ada yang berlebihan, tak ada yang dibuat-buat. Itu bukan sekadar pujian seorang presiden kepada menterinya. Itu adalah tende.
Di Tanah Kaili, khususnya di Palu, tende bukan sekadar kata-kata manis. Ia adalah bahasa hati. Cara untuk mengakui kelebihan orang lain tanpa rasa sungkan, dengan etika yang lembut namun kuat. Tende itu jembatan yang menyatukan, yang memuliakan, yang mengakrabkan.
Presiden Prabowo tahu betul bagaimana rasanya menjadi bagian dari karakter Indonesia Timur, keras, tegas, blak-blakan, tapi jika sudah percaya dan menghargai seseorang, kesetiaan tak pernah setengah-setengah.
Darah Minahasa dari ibunya membuat Presiden Prabowo paham bahasa-bahasa nonverbal itu: ketegasan yang dibalut kehangatan, dan penghormatan yang tidak perlu dirayakan dengan kata-kata rumit.
Maka ketika ia memuji Bahlil, itu bukan sekadar “presiden memuji menteri”. Itu adalah pengakuan yang lahir dari mata yang melihat kerja keras, dan dari hati yang memahami watak.
Menteri Hukum RI, Supratman Andi Agtas, saat Festival Tende di Palu beberapa waktu lalu, mendefinisikan tende adalah kemampuan untuk mengakui keunggulan orang lain dengan etika yang tepat, menghormati tanpa merendahkan diri, meninggikan tanpa melebih-lebihkan.
Begitulah nada yang terdengar dari Presiden Prabowo. Sederhana, tetapi bernilai.
Di baliknya, ada pesan yang lebih dalam: bahwa kepemimpinan bukan hanya soal kebijakan, tetapi soal penghargaan. Bahwa karakter Indonesia Timur yang kadang dianggap “keras”, sesungguhnya menyimpan tradisi ketulusan yang kuat. Dan bahwa tende adalah salah satu warisan tutur yang membuat hubungan antarmanusia tetap hangat di tengah hiruk pikuk politik dan kekuasaan.
Karena pada akhirnya, pemimpin yang besar bukan hanya yang mampu memerintah dengan tegas, tetapi juga yang mampu mengakui, menghargai, dan memuliakan orang lain, dengan cara yang paling sederhana: ketulusan. (*)
Wallahu A’lam

Tinggalkan Balasan