Oleh: Ruslan Sangadji / Wasekjen MN KAHMI
Setiap Desember, ruang-ruang publik kita berubah. Lampu berpendar, pohon natal menghias, lagu-lagu Natal mengalun di pusat perbelanjaan, dan ucapan “Selamat Natal” bertebaran di media sosial. Bagi sebagian umat Islam, momen ini bukan sekadar peristiwa tahunan, melainkan juga ruang batin yang penuh tanya: sejauh mana toleransi harus dibentangkan, tanpa mengaburkan keyakinan?
Islam, sejak awal, lahir bukan di ruang homogen. Islam tumbuh di tengah perbedaan, bahkan pertentangan. Karena itu, toleransi dalam Islam bukan konsep impor, melainkan bagian dari DNA teologisnya. Namun toleransi yang dimaksud bukanlah relativisme iman, melainkan kematangan sikap.
Dalam Al-Qur’an, Isa al-Masih bukan figur asing. Isa ‘Alaihisslam disebut sebagai nabi mulia, lahir secara Ajaib (tak berayah), suci, dan diberi mukjizat. Penghormatan Islam terhadap Isa ‘Alaihissalam, adalah fakta teologis yang sering terlupakan dalam polemik Natal. Namun di titik inilah garis pembeda ditegaskan: Islam menghormati Isa ‘Alaihissalam sebagai nabi, bukan sebagai Tuhan atau anak Tuhan. Perbedaan ini bukan sekadar tafsir, melainkan fondasi aqidah.
Maka toleransi Islam tidak bekerja dengan cara mencairkan batas iman, melainkan dengan meneguhkan batas itu, sambil tetap memuliakan kemanusiaan orang lain. “Mereka yang bukan saudaramu seiman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan” (Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu).
Di sinilah narasi toleransi sering tergelincir. Ketika toleransi dipaksa menjadi penyeragaman ekspresi, sebagian umat merasa terdesak: seolah penghormatan hanya sah jika diiringi pengakuan teologis. Padahal Islam tidak pernah menuntut pengakuan iman untuk menebar kebaikan sosial.
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam hidup berdampingan dengan komunitas Nasrani Najran. Mereka beribadah di masjid beliau (Nabi mempersilakan mereka beribadah di masjid). Namun tak satu pun riwayat menunjukkan Nabi meleburkan aqidah demi harmoni. Yang beliau bangun adalah adab perbedaan, sebuah etika hidup bersama tanpa pemaksaan keyakinan.
Dalam konteks Natal, perspektif Islam mengajarkan pembedaan yang jernih antara ta’abbudi dan mu’amalah. Ibadah adalah wilayah iman yang sakral dan eksklusif. Sementara mu’amalah adalah relasi sosial, kemanusiaan, dan kebajikan sebagai ruang inklusif.
Seorang Muslim boleh menunjukkan empati, menjaga keamanan perayaan, membantu tetangga yang bersuka cita, bahkan menyampaikan doa-doa kebaikan universal, tanpa harus memasuki ritual keimanan yang bukan miliknya.
Toleransi, dalam kacamata Islam, bukan tentang ikut merayakan keyakinan, tetapi tentang tidak menghalangi orang lain merayakannya. Ini perbedaan halus, tetapi menentukan.
AKU BERBEDA TAPI MENGHORMATIMU
Di tengah dunia yang kian brisik oleh politik identitas, Islam justru menawarkan ketenangan: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Ayat ini bukan tembok pemisah, melainkan pagar etika. Ia menjaga agar perjumpaan antariman tidak berubah menjadi dominasi atau penyangkalan diri.
Natal, bagi umat Kristiani, adalah perayaan iman. Bagi Muslim, ia adalah momen latihan kedewasaan spiritual: mampukah kita teguh tanpa menjadi kaku, ramah tanpa menjadi kabur?
Barangkali toleransi tertinggi bukan terletak pada ucapan, tetapi pada ketenangan batin. Ketika seorang Muslim tidak merasa terancam oleh perayaan agama lain, justru di situlah ia menunjukkan keyakinan yang matang. Dan ketika ia mampu berkata, dengan jujur dan santun, “Aku berbeda, tapi aku menghormatimu,” di situlah Islam hadir sebagai rahmat, bukan slogan, melainkan sikap hidup.
Setiap Natal tiba, diskursus toleransi di negeri ini selalu menemukan panggungnya. Ucapan demi ucapan berseliweran, seruan persatuan digaungkan, dan tak jarang umat beragama, terutama Muslim, didorong untuk “lebih terbuka”. Masalahnya, keterbukaan seperti apa yang sebenarnya sedang ditawarkan?
Di titik inilah toleransi kerap diselewengkan maknanya. Ia tidak lagi dimaknai sebagai sikap saling menghormati dalam perbedaan, melainkan sebagai tuntutan simbolik agar perbedaan itu sendiri dipereteli. Toleransi berubah menjadi tekanan halus: siapa yang menolak ikut dalam ekspresi keagamaan pihak lain, dianggap eksklusif, bahkan dicurigai intoleran. Islam, secara teologis, menolak logika semacam ini.
Dalam Islam, Isa al-Masih adalah nabi besar, bukan figur mitologis apalagi ilahi. Al-Qur’an menegaskan kemuliaannya, tetapi sekaligus membantah keras konsep ketuhanan Isa. Penegasan ini bukan sikap ofensif, melainkan posisi iman yang tidak bisa dinegosiasikan.
Lantaran itu, ketika Natal dirayakan sebagai kelahiran “Tuhan yang menjelma”, umat Islam berhadapan dengan batas aqidah yang jelas, bukan wilayah abu-abu yang bisa dikompromikan atas nama harmoni sosial. Toleransi Islam tidak bekerja dengan cara menyamarkan garis iman. Justru toleransi itu ada karena garis tersebut tegas.
BUKAN KEBENCIAN TAPI KONSISTENSI IMAN
Sejarah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, memperlihatkan model hidup bersama yang dewasa, bukan permisif. Seperti yang sudah disebut di atas, Kaum Nasrani Najran diterima sebagai tamu, dihormati, bahkan diberi ruang beribadah. Namun Nabi tidak ikut merayakan keyakinan mereka, tidak pula mengafirmasi teologi Trinitas demi menjaga suasana. Koeksistensi tidak pernah menuntut konversi simbolik.
Ironisnya, di era modern, sebagian orang justru lebih agresif daripada negara-negara Madinah abad ke-7. Toleransi hari ini kerap dipaksakan melalui moral shaming: siapa yang menjaga jarak aqidah dianggap radikal; siapa yang menolak simbol dianggap ancaman kebhinekaan. Padahal yang dijaga bukan kebencian, melainkan konsistensi iman.
Islam membedakan secara tegas antara ibadah dan relasi sosial. Mu’amalah bersifat inklusif; ibadah bersifat eksklusif. Kekeliruan besar terjadi ketika batas ini sengaja dikaburkan. Menghormati perayaan Natal tidak berarti ikut merayakannya. Menjaga keamanan gereja bukan sebagai pengakuan teologis. Menolak ikut ritual bukan berarti memusuhi.
Justru di sinilah ujian toleransi yang sebenarnya: apakah masyarakat mampu menerima perbedaan yang tidak mau dilebur?
Toleransi sejati menuntut keberanian dua arah. Umat Islam harus berani bersikap ramah tanpa rasa inferior. Umat lain pun harus berani menerima, bahwa tidak semua bentuk solidaritas harus diekspresikan dengan partisipasi ritual. Menyamakan ekspresi bukan persatuan; itu penyeragaman.
Islam tidak pernah mengajarkan sikap bermuka dua, mengiyakan sesuatu di ruang publik yang ditolak di ruang iman. Al-Qur’an mengajarkan kejujuran teologis yang menjadi deklarasi kemerdekaan iman.
Natal, bagi umat Kristiani, adalah perayaan iman. Bagi umat Islam, ia seharusnya menjadi cermin: sejauh mana kita mampu berdiri tegak tanpa menjadi kasar, dan sejauh mana masyarakat mau menerima keteguhan tanpa melabelinya intoleransi.
Sebab toleransi yang memusuhi keyakinan justru melahirkan kepalsuan sosial. Dan harmoni yang dibangun di atas penyangkalan iman bukan perdamaian, melainkan kepura-puraan kolektif. (*)
Wallahu A’lam

Tinggalkan Balasan