SATU TAHUN PERJALANAN di Senayan kerap menjadi jarak bagi sebagian politisi: jarak dari tanah yang pernah diinjak, dari suara yang pernah dijanjikan untuk didengar. Namun bagi Longki Djanggola, jarak itu justru dijembatani dengan langkah pulang, berulang kali, ke seluruh penjuru Sulawesi Tengah.
Setahun pascadilantik sebagai Anggota DPR RI, Longki Djanggola memilih untuk tidak larut sepenuhnya dalam hiruk-pikuk gedung parlemen. Di tengah rapat-rapat panjang Komisi II dan dinamika Badan Legislasi (Baleg), ia menyisakan waktu untuk satu hal yang baginya paling mendasar: kembali mendengar rakyatnya sendiri.
Dalam satu tahun masa tugasnya, politisi Partai Gerindra itu telah menyusuri 13 kabupaten dan kota di Sulawesi Tengah. Dari agenda reses hingga kunjungan kerja daerah pemilihan, langkahnya tak berhenti di ruang-ruang formal, melainkan menyentuh balai desa, aula kecamatan, hingga pertemuan sederhana bersama warga.
“Alhamdulillah, dalam satu tahun ini saya telah mendatangi seluruh kabupaten dan kota di Sulawesi Tengah. Saya ingin mendengarkan langsung curhatan masyarakat dan melihat kondisi riil di lapangan,” kata Longki Djanggola, Senin, 29 Desember 2025.
Bagi Longki, reses bukanlah ritual administratif yang selesai dengan laporan tertulis, foto dan berita. Ia memaknainya sebagai ruang dialog strategis, tempat negara dan warga saling menatap tanpa sekat. Di sanalah beragam persoalan mengemuka: tata kelola pemerintahan daerah, konflik pertanahan, reformasi birokrasi, kualitas pelayanan publik, hingga tarikan kepentingan dalam otonomi daerah.
Pengalaman panjangnya sebagai Gubernur Sulawesi Tengah selama dua periode (2011-2021) menjadikan setiap keluhan terasa akrab. Ia tak hanya mendengar, tetapi memahami konteksnya. Banyak aspirasi warga, kata Longki, beririsan langsung dengan tugasnya di Komisi II DPR RI, mulai dari urusan pemerintahan dalam negeri, pemilu, pertanahan, hingga aparatur sipil negara.
“Karena saya pernah memimpin daerah ini selama dua periode, saya tahu betul persoalan-persoalan mendasar yang masih dihadapi. Tugas saya sekarang adalah memastikan suara daerah ini sampai dan diperjuangkan di tingkat nasional,” tuturnya.
Di setiap pertemuan, Longki juga membawa satu misi lain: menjelaskan apa dan bagaimana kerja DPR RI. Ia sadar, jarak antara parlemen dan rakyat kerap tercipta, bukan hanya karena kebijakan, tetapi karena minimnya pemahaman. Dengan bahasa yang sederhana, ia mencoba merawat hubungan representasi, agar rakyat tahu ke mana aspirasinya bergerak setelah disampaikan.
Sebagai Ketua DPD Partai Gerindra Sulawesi Tengah, ia memastikan seluruh hasil reses dirangkum secara sistematis dan dibawa ke forum resmi DPR RI. Aspirasi itu tidak berhenti sebagai catatan pinggir, melainkan menjadi bahan pertimbangan dalam pembahasan kebijakan dan legislasi nasional.
Setahun pertama ini, bagi Longki Djanggola, adalah fase meneguhkan peran: bahwa berkantor di Senayan bukan berarti meninggalkan daerah. Justru dari sanalah, katanya, kepentingan Sulawesi Tengah harus diperjuangkan agar mendapat perhatian yang semestinya.
“Berkantor di Senayan bukan berarti meninggalkan daerah. Dari sanalah saya ingin membawa Sulawesi Tengah ke meja pengambilan keputusan nasional,” tegasnya.
Setahun berlalu. Perjalanan masih panjang. Namun satu hal telah ditegaskan sejak awal: denyut Sulawesi Tengah tetap menjadi kompas langkah Longki Djanggola di DPR RI. (*)

Tinggalkan Balasan