Perang 11 hari meletus di Istana Raja Tombolotutu di Lobu. Raja Tombolotutu dan rakyatnya tak punya peralatan perang yang memadai. Raja Tomboloutu kalah perang, tapi ia navatu (kepala batu) dan tak mau takluk dengan Belanda. Tekadnya, penjajah harus angkat kaki dari Moutong. Diputuskanlah untuk melakukan perang gerilya bersama rakyatnya.
Jauh sebelum Jenderal Sudirman mempraktikan Strategi Perang Gerilya melawan Belanda, nun jauh di wilayah utara Sulawesi Tengah, Raja Tombolotutu telah lebih dulu mempraktikkannya. Strategi itu sangat mumpuni, karena Belanda tak berhasil menangkap apalagi menaklukannya.
“Saya bersumpah, tidak menyerahkan sejengkalpun tanah Moutong. Saya juga bersumpah, tidak akan memberikan satu gram emas pun kepada Belanda,” begitu sumpah Raja Tombolotutu.
Karena perang Gerilya, Raja Tombolotutu bersama pengikutnya meninggalkan Moutong. Pulau Walea di Kepulauan Togean, Tojo Unauna menjadi tempat berlabuh setelah kalah perang dengan Belanda. Di pulau itu, tepatnya di Walea Bahe, Raja Tombolotutu kembali menghimpun kekuatan.
Tapi banyak pengkhianat. Para kaum munafik itu menjadi mata-mata Belanda. Persembunyian dan semua gerak-gerik Raja Tombolotutu dan pengikutnya, terdeteksi oleh Belanda. Para penjajah itu mengirim pasukannya, mengejar Raja Tomboltutu dan bala tentaranya ke Walea Bahe. Raja Tombolotutu dan pasukannya melawan. Perang kembali terjadi di pulau itu enam hari lamanya.
Tinggalkan Balasan