Raja Tombolotutu menyusun siasat baru. Bersama pasukannya dan penduduk yang tersisa memutuskan meninggalkan Pulau Walea. Dengan semangat perlawanan yang membara, Raja Tombolotutu dan pasukannya pindah ke Bolano. Agustus 1900, Belanda mengetahui keberadaan Raja Tombolotutu dan pasukannya. Imperialis itu kembali menyerang Raja Tombolotutu. Tapi kali ini Belanda harus menanggung malu karena kalah.

Dendam Belanda kepada Raja Tombolotutu semakin membuncah. Mereka menyusun siasat baru dan setahun kemudian atau pada 1901, pasukan penjajah kembali menyerang Raja Tombolotutu dan pengikutnya.  Di perang ini, menurut Lukman Nadjamuddin, sebanyak 170 tentara Marsose (tentara elit Belanda) diterjunkan untuk melawan Raja Tombolotutu. Tapi Pasukan Tombolotutu sangat tangguh. Ia tak bisa dikalahkan.

Pada serangan itu, mengharuskan Raja Tombolotutu bersama istrinya, Pua Darawati yang sedang hamil, harus diungsikan oleh ke  Kerajaan Sojol. Di pengungsian itulah, Pua Darawati melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Kuti Tombolotutu bergelar Datu Pamusu.

Datu Pamusu itu, kemudian disematkan kepada cucu Raja Tombolotutu yang kini menjabat sebagai Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sulawesi Tengah. Datu Pamusu Tombolotutu yang akrab disapa Us.

Raja Tombolotutu tidak hanya berjuang di wilayah administrasi kerajaannya saja. Tetapi juga menjangkau ke wilayah lain di Sulawes Tengah. Bahkan ia harus mengarungi Teluk Tomini untuk melawan Kolonial Belanda. Gerakan Anti Belanda di Kepulauan Togean terlahir, karena Raja Tombolotutu. Belanda sampai pusing, karena Raja Tombolotutu tak bisa ditangkap.