DONGGALA, KAIDAH.ID – Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pelabuhan Perikanan Wilayah I Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Donggala, Abdul Rasyid, mengimbau pengusaha/eksportir ikan tuna di Kabupaten Donggala, agar menggunakan sistem Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) Sulteng, supaya lebih aman dalam proses pengiriman.
“Pasar ekspor ikan tuna asal Donggala menyasar Jepang dan telah dilakukan uji coba pertama kali di tahun 2021 silam,yang menggunakan PEB penerbangan wilayah setempat,” ujarnya.
Tetapi kata dia, itu hanya bersifat sementara. Sebab kesulitan dengan jadwal penerbangan akibat pandemi Covid-19.
“Nah, agar kegiatan ekspor tetap berlanjut, maka pengusaha memilih menggunakan rute Sulteng-Makassar-Jepang menggunakan PEB Sulawesi Selatan, sehingga devisa itu tidak masuk ke Sulteng,” katanya.
Oleh karena itu, kata dia, pihaknya bersama Bea Cukai telah menjajaki kembali untuk memulai dan dapat mengeluarkan PEB Penerbangan, pasca dua kali Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng gagal mengekspor ikan tuna Donggala ke Jepang.
“PEB harus keluar di Sulteng. Kami mulai menjajaki dengan Bea Cukai. Karena saat itu, sempat dua kali gagal mengekspor akibat PEB tidak keluar, tapi saat ini sudah mulai diperbaiki dan ekspor selanjutnya dipastikan menggunakan PEB Sulteng, dan disesuaikan dengan jadwal penerbangan,” jelasnya.
IKAN TUNA
Ikan Tuna telah menjadi salah satu komoditas industrialisasi di sektor kelautan dan perikanan, karena tuna merupakan komoditas ekspor dengan permintaan pasar tinggi terutama di Jepang, Amerika Serikat dan beberapa kota besar di dunia termasuk Jakarta.
Alasan berikutnya, adalah karena ikan pelagis besar ini bernilai ekonomi tinggi. Harga jual di tingkat nelayan bisa mencapai 10 dolar AS per kilogram. Selain itu Indonesia memiliki potensi sumberdaya tuna terbesar di Asia Tenggara yang didominasi jenis yellow fin atau biasa disebut tuna sirip kuning atau madidihang, dan jenis big eye atau tuna mata besar.
Jenis tuna yang paling mahal harganya adalah blue fin atau tuna sirip biru yang tertangkap hanya di wilayah perairan yang memiliki empat musim.
Provinsi Sulawesi Tengah memiliki dua jenis yang dominan, yaitu tuna yellow fin dan tuna big eye dengan potensi sumber daya menjanjikan yang tersebar pada tiga cluster yaitu (1) Selat Makassar – Laut Sulawesi terutama di wilayah perairan Buol, Tolitoli dan perbatasan Donggala-Tolitoli; (2) Teluk Tomini terutama di Banggai, Tojo Unauna dan Parigi Moutong yang berbatasan Gorontalo; serta (3) Teluk Tolo terutama Banggai Kepulauan dan Morowali yang berbatasan dengan Maluku.
Selama ini tuna yang tertangkap di Sulawesi Tengah lebih banyak dikirim ke Gorontalo dan Makassar melalui laut dan darat, selebihnya di kirim ke Bali dan Jakarta melalui bandar udara Mutiara Palu dan Luwuk. Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Donggala adalah salah satu tempat mendaratkan tuna hasil tangkapan nelayan.
Diprediksi hanya sekitar 30-40 persen tuna yang tertangkap di selat Makassar-Laut Sulawesi pada wilayah perairan Sulawesi Tengah yang didaratkan di PPI Donggala dan selebihnya didaratkan di Gorontalo dan di beberapa tempat di wilayah pesisir Sulawei Tengah yang tidak tercatat.
Demikian halnya yang tertangkap di Teluk Tomini dan Teluk Tolo sebagian besar didaratkan di Gorontalo dan atau Makassar.
Ikan tuna hasil tangkapan nelayan di Sulawesi Tengah dihargai hanya sekitar 4 dolar AS per kilogram, sementara itu ikan tuna di Gorontalo dan Bitung dihargai 7 dolar AS per kilogram. Kondisi harga ini tentu memprihatinkan kita semua sehingga besar keinginan untuk meningkatkan daya saing terutama bagaimana agar harga tuna di tingkat nelayan dapat ditingkatkan dari 4 dolar AS menjadi 7 dolar AS per kilogram.
Saat ini Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah sedang memperbaiki sistem monitoring dan pencatatan tempat pendaratan dan volume hasil tangkapan ikan tuna, karena tersedianya data yang valid menjadi penting dalam membuat regulasi dan rencana investasi. (*)
Tinggalkan Balasan