“Waktu di IKAAL, kalau saya telepon untuk urusan surat menyurat, pasti selalu ada. Muhtadin itu bersama Faisal At-Tamimi,” kenangnya.
TAK PERNAH MENGELUH
Saat IAIN baru berubah status menjadi UIN, Prof. Sagaf mengajak Muhtadin untuk ikut bersama-sama membangun UIN.
“Kemudian saya menempatkan beliau sebagai Ketua LP2M. Saat itu, saya tidak tahu kalau beliau ini sudah sakit. Saya tidak tahu, karena beliau tidak pernah mengeluh,” kata Prof. Sagaf.
Prof. Sagaf mengaku, berjalan waktu ia menerima kabar Muhtadin sakit. Kemudian ia menelpon dan menanyakan keadaannya. Tapi jawabannya justru hanya menyampaikan kalau hanya capek saja dan tidak sakit.
“Tapi saya lihat dia sakit. Walau begitu, dia tetap keliling ke beberapa wilayah binaan se Sulteng. Sementara daerah binaan UIN itu banyak dan dia tetap berkeliling,” kata dia.
Prof. Sagaf melanjutkan, suatu saat ke Morowali, ia meminta agar Muhtadin tidak perlu berangkat.
“Tapi akhirnya dia tetap berangkat,” ucapnya.
“Semangat juang dan pengabdiannya sangat luar biasa. Kerja tanpa pamrih ini harus kita teladani,” Prof. Sagaf mengulangnya lagi.
Pada Hari Amal Bakti Kemenag (dua hari sebelum wafat), kata Rektor UIN Datokarama Palu, Muhtadin masih bisa hadir bersama-sama Civitas Akademika UIN Datokarama Palu. Ia datang dengan mengenakan pakaian adat Bone.
“Itu artinya, beliau (almarhum) ini sangat totalitas dalam kerja-kerja. Dengan modal itu insya Allah menjadi amal jariyah bagi almarhum,” kata Prof. Sagaf.
Dari sisi usia, kata Prof. Sagaf, almarhum masih muda, tapi takdir Allah itulah yang terbaik. Keluarga harus dapat menerima takdir itu.
“Almarhum akan mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah Subhanahu wata’ala,” tandas Prof. Sagaf S. Pettalongi. (*)
Tinggalkan Balasan