“Beberapa aturan termasuk aturan ketenagakerjaan boleh dibedakan dengan aturan yang pada umumnya berlaku di wilayah Indonesia, atau sengaja diubah demi investor dari China itu. Hal itu seperti aturan pajak dan aturan tidak boleh diskriminatif terhadap pekerja. Selain itu, juga adanya aturan ekspor hasil tambang wajib dijual dengan harga murah ke smelter-smelter yang notabene sekitar 90 persen milik China,” tegas Jumhur.
Penyebab lain terjadi ketegangan, karena puluhan ribu pekerja asing (TKA) tidak berpendidikan layak atau pekerja kasar, ternyata bisa menjadi pekerja di kawasan itu. Namun, mereka eksklusif karena tidak bisa berbaur dengan pekerja lokal akibat tidak diwajibkan berbahasa Indonesia, seperti aturan yang pernah berlaku selama puluhan tahun sebelumnya.
Anggota anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Ambo Dalle mengatakan, TKA itu harusnya bisa berbahasa Indonesia, agar dapat berkomunikasi dengan baik di antara sesama pekerja Indonesia.
“Banyak terjadi kesalahpahaman di antara pekerja, juga karena perbedaan bahasa. Jadi memang, sebaiknya ada regulasi yang mewajibkan pekerja asing berbahas Indonesia. Sama seperti kita kalau kerja di luar negeri, wajib berbahasa di negara tujuan itu,” kata Ambo Dalle.
APA YANG HARUS DILAKUKAN
Ajakan atau desakan agar pemerintah menutup PT. GNI, sebetulnya bukan solusi. Itu sama saja dengan membakar lumbung. Tidak menyelesaikan masalah.
Paling tidak, yang harus dilakukan saat ini adalah segera lakukan audit atas banyak hal, mulai dari regulasi negara terkait investasi smelter, khususnya dari China sampai pada pelaksanaan atas regulasi itu.
Jumhur Hidayat menyatakan, regulasi yang terkait dengan investasi China di Indonesia, sangat merugikan Indonesia, baik itu dari pendapatan maupun ketenagakerjaan.
Tinggalkan Balasan