PEMBAHASAN PERTAMA
Para ulama akan membahas pandangan fiqih baru terkait relasi hukum fikih dengan bentuk negara bangsa modern.
“Ini kelanjutan dari beberapa hal yang sudah diputuskan pada periode sebelumnya. Seperti Munas tahun 2019 di Banjar yang membahas istilah kafir, agar tidak digunakan dalam kehidupan berbangsa negara dan melahirkan istilah fikih baru, yaitu “muwathin”, warga negara. Bukan lagi identitas berdasarkan sentimen keagamaan, terlepas dari apapun agamanya,” jelas Ahmad Syarif.
Termasuk juga mengenai reformulasi pandangan hukum fiqih terkait hasil konsep negara bangsa modern. Misalnya, Pancasila yang disahkan sebagai ideologi dan dasar negara.
“Negara bangsa adalah bentuk baru yang harus dicarikan legalitas hukum keagamannya dalam fiqih baru,” kata Ahmad Syarif yang juga Wakil Sekjen PBNU itu.
PEMBAHASAN KEDUA
Pada pembahasan kedua berkaitan dengan pola hubungan Muslim dan non-Muslim. Dahulu, narasi yang muncul adalah perihal permusuhan dan persinggungan. Pandangan terhadap hubungan sosial keduanya ini perlu direkontekstualisasi agar bisa hidup bersama dalam satu peradaban besar dunia.
“Ini kita mencari jalan agar kita sama-sama, tidak lagi ada narasi-narasi yang sifatnya mengarah pada kebencian terhadap orang-orang yang berbeda dengan kita,” katanya.
PEMBAHASAN KETIGA
Kemudian pada pembahasan Ketiga muktamar ini, akan mengangkat Piagam PBB yang dijadikan sebagai rujukan otoritatif dan sesuai dengan syariat Islam. Sebagaimana diketahui, Piagam PBB menjadi salah satu kunci kesepakatan yang dapat menghentikan Perang Dunia II.
“PBB itu organisasi besar. Apakah keputusan dan produk-produk hukum yang dikeluarkannya bisa jadi acuan yang sah rujukan hukum syariat Islam? Ini yang nanti akan dibicarakan oleh para ulama yang hadir,” tandas Ahmad Syarif. (*)
Tinggalkan Balasan