Praktiknya, kata dia, pemanfaatan dana nilai manfaat sejak 2010 sampai dengan 2022 terus mengalami peningkatan yang berefek pada penggerusan dana cadangan nilai manfaat Jemaah haji.

Pada 2010, nilai manfaat dari hasil pengelolaan dana setoran awal yang diberikan ke jemaah hanya Rp4,45 juta. Sementara Bipih yang harus dibayar jemaah sebesar Rp30,05 juta. Komposisi nilai manfaat hanya 13%, sementara Bipih 87%.

“Nah, komposisi nilai manfaat terus membesar menjadi 19% (2011 dan 2012), 25% (2013), 32% (2014), 39% (2015), 42% (2016), 44% (2017), 49% (2018 dan 2019),” jelasnya.

Itu terjadi, karena Arab Saudi menaikkan layanan biaya Masyair secara signifikan jelang dimulainya operasional haji 2022 (jemaah sudah melakukan pelunasan), penggunaan dana nilai manfaat naik hingga 59%.

“Nilai manfaat tersebut tidak lain adalah subsidi bagi jemaah yang berangkat ke Tanah Suci yang seyogyanya harus dirasakan juga oleh 5 juta jemaah yang masih menunggu antrean berangkat,” tegasnya.

Tentu skema pembiayaan antara komposisi Bipih dan nilai manfaat tersebut tidaklah proporsional. Subsidi yang cenderung tidak berkeadilan tersebut akan mempercepat penggerusan dana nilai manfaat dan tidak sehat untuk pembiayaan haji jangka panjang.

“Bila tidak ada perubahan kebijakan dalam pengelolaan dana haji, terdapat potensi pelaksanaan skema ponzi pada ibadah haji suatu waktu. Pasalnya, subsidi jemaah yang akan berangkat harus diambil dari nilai manfaat setoran awal jemaah lainnya yang seharusnya berhak atas nilai manfaat tersebut,” paparnya.

BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) bahkan telah memprediksi bahwa diperkirakan dalam 5-10 tahun mendatang, jika komposisi Bipih dan nilai manfaat tersebut masih dipertahankan, cadangan nilai manfaat dan haji akan habis dan pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji selanjutnya akan murni bersumber dari jemaah.

Berdasarkan hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Agama mencoba merubah komposisi pembiayaan tersebut menjadi 70% Bipih dan 30% nilai manfaat pada usulan biaya haji tahun 2023. Efek dari perubahan formula komposisi pembiayaan tersebut maka secara kasat mata, biaya haji yang dikeluarkan jemaah naik cukup signifikan, walau secara BPIH hanya naik rerata Rp514.888,02. Itu semua dilakukan tidak lain untuk menjaga keberlangsungan pendanaan haji menuju subsidi yang berkeadilan bagi seluruh jemaah.

KONSEP ISTITHA’AH ATAU KEMAMPUAN

Sementara itu, dari perspektif syariat, Islam mempersyaratkan kemampuan atau istitha’ah bagi masyarakat yang hendak menunaikan rukun Islam kelima tersebut. Dalam QS. Ali Imran ayat ke-97 jelas menyatakan bahwa ibadah haji diperuntukkan untuk orang-orang yang mampu, baik secara fisik, rohani, ekonomi maupun keamanan.