Bahkan para ulama berani menyatakan, hukum berhaji tidak menjadi wajib jikalau yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan. Dengan bahasa sederhananya, tidak baik memaksakan diri bila memang belum memiliki kemampuan.
Salah satu ciri dari mampu, khususnya kemampuan ekonomi, adalah mampu membiaya segala perjalanan ibadah hajinya, termasuk meninggalkan harta bagi keluarga yang ditinggalkan.
Orang yang istitha’ah tentu tidak tergantung dengan subsidi (baca : dari nilai manfaat) sehingga bila subsidi itu dikurangi, atau bahkan ditiadakan untuk kemashlahatan yang lebih besar, maka yang bersangkutan tetap dapat membiayai perjalanan ibadah hajinya.
“Itulah konsep awal dari istitha’ah yang coba dikembalikan untuk direalisasikan kepada jemaah,’ ujarnya.
Namun, terlepas dari itu semua, penetapan besaran biaya haji, wabil khusus yang harus dibayarkan jemaah, tergantung pembahasan yang dilakukan antara pemerintah dan anggota legislatif Komisi VIII DPR-RI.
Menurut Undang Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, dalam pasal 47, DPR-RI diberikan waktu 60 (enam puluh) hari untuk membahas, mengkaji dan memberikan persetujuan atas usulan BPIH yang disampaikan Menteri Agama pada 19 Januari 2023 lalu untuk kemudian ditetapkan oleh Presiden RI.
“Tentu semua masyarakat Indonesia berharap pemerintah dan para wakil rakyat dapat menyetujui biaya yang terbaik bagi jemaah haji Indonesia secara keseluruhan, mempertimbangkan segala mashlahat dan mudharatnya bagi umat,” tandasnya. (*)
Tinggalkan Balasan