AJI, organisasi yang beranggotakan para wartawan terlatih, bersepakat untuk menulis berita tentang Poso tanpa memihak pada satu kelompok tertentu. Bagi anggota AJI yang bekerja di beberapa media cetak ketika itu, harus berimbang memberitakan tentang kerusuhan Poso. Harus profesional.
Semangat itu tidak hanya terlihat dalam setiap laporan mereka di media, tetapi juga dalam kesehariannya. Pergaulan sehari-hari, tidak boleh membeda-bedakan antarpenganut agama. Anggota AJI Palu benar-benar menjunjung toleransi dan keberagaman.
Wujud toleransi itu, tidak hanya menjadi kampanye-kampanye AJI di ruang-ruang publik, tetapi juga di internal organisasi. Maka, pada 1999 ketika pergantian kepemimpinan di AJI Palu, 99 persen anggota AJI Palu yang beragama Islam, justru bersepakat memilih Maxi Wolor, menjadi Ketua AJI Palu menggantikan Muhammad Nur Korompot yang terpaksa pindah domisili karena menjadi wartawan Bisnis Indonesia.
Maxi Wolor, adalah jurnalis yang beragama Katolik. Ia berasal dari Nusa Tenggara Timur, ditugaskan di Palu oleh media tempatnya bekerja, koran Harian Surya yang terbit di Surabaya.
Padahal, kalau anggota AJI Palu ketika itu mau, mereka tidak akan memilih Maxi Wolor yang Katolik itu untuk memimpin. Bagaimana mungkin 99 persen anggota AJI Palu itu muslim, tetapi mau bersepakat memilih Maxi Wolor.
Apalagi di saat itu, kerusuhan bernuansa agama di Poso begitu kencangnya sehinga suka atau tidak, antara satu dengan yang lainnya yang berbeda agama saling curiga.
Tasrif Siara, jurnalis Radio Nebula saat itu bilang, AJI Palu tidak sekadar membuktikan diri sebagai organisasi yang mengutamakan profesionalitas jurnalis, tetapi juga telah mempraktikan semangat toleransi, semangat keberagaman itu.
“Perbedaan bukan menjadi halangan bagi kami di saat Poso sedang dilanda kerusuhan bernuasa agama. Itu kami buktikan dengan memilih Maxi Wolor sebagai Ketua AJI Palu pasca Nur Korompot. Coba bayangkan, dari semua anggota AJI, hanya Maxi Wolor sendiri yang berbeda agama. Dia Katolik, tetapi kami yang muslim memilih dia untuk memimpin AJI Palu,” kisah Tasrif Siara suatu ketika.
Karena konsistensi AJI Palu menjaga dan merawat perbedaan, menjaga keberagaman, maka hanya jurnalis anggota AJI sajalah yang bisa diterima dengan baik ketika meliput di Poso. Mau ke komunitas Islam atau ke komunitas Kristiani. Silakan, mereka menerima dengan baik.
AJI Palu juga membuktikan itu, dengan mengadakan pertemuan jurnalis Ambon dan Ternate di salah satu hotel di Palu. Saat itu, jurnalis Ambon dan Ternate, tidak bisa bertemu, karena perbedaan agama akibat kerusuhan yang sama dengan Poso, bernuansa agama.
AJI Indonesia memilih AJI Palu sebagai tempat pertemuan untuk menyatukan para jurnalis itu. Para pemateri di pertemuan tersebut adalah Pendeta Rinaldy Damanik sebagai perwakilan Kristen dan Ustadz Yahya Alamri dari pihak Islam.
Mengundang Pendeta Rinaldy Damanik ke Palu di saat Poso sedang bergolak, juga punya kisah tersendiri. (Tidak dikisahkan dalam artikel ini).
Selanutnya, pada saat praktik lapangan, AJI Palu membawa para jurnalis Ambon dan Ternate ke Poso. Jurnalis yang beragama Islam melakukan liputan di Tentena yang basis Kristen. Sedangkan jurnalis beragama Kristen, liputannya di Poso Kota yang menjadi basis muslim.
Begitulah cara AJI Palu mengenalkan kepada jurnalis itu, karena konsistensi menjaga toleransi, keberagaman, profesionalitas dan tidak memihak pada satu kelompok dalam pemberitaan, akhirnya anggota AJI dapat diterima di semua komunitas di Poso.
Begitulah sekelumit kisah konsisteni AJI Palu merawat toleransi, menjaga keberagaman, menjunjung tinggi profesionalitas jurnalis. Dan yang lebih utama, jujur dalam mengungkap fakta dan data menjadi berita.
Dari situlah, akhirnya AJI Palu dapat menjadi salah satu lembaga pelopor perdamaian Poso. Maka, hampir seluruh anggota AJI Palu, direkrut menjadi Tim Pelopor Perdamaian Poso.
Dirgahayu AJI Palu yang ke 25 tahun. Teruslah independen.
Wassalam!
Tinggalkan Balasan