TERNATE – Dua pekan sudah, warga Kota Ternate, Maluku Utara (Malut) kembali beraktivitas seperti biasa, setelah pemerintah setempat menerapkan relaksasi sejak 5 Juni 2020 lalu.
Penerapan relaksasi itu, diharapkan dapat menjadi angin segar di sektor ekonomi, yang sejak beberapa bulan ini bergerak lambat, karena adanya pandemi korona.
Ketua LSM Rorano, Asgar Saleh mengatakan, hasil dari penerapan relaksasi itu belum dapat diukur keberhasilannya, karena baru dimulai. Efektivitasnya belum terlihat, apalagi relaksasi itu lebih berorientasi pada pertumbuhan sektor ekonomi.
Penerapan relaksasi itu, kata Asgar, pemerintah mulai mengizinkan membuka restoran, cafe, hotel dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya.
“Maka yang dievaluasi nanti adalah, apakah dengan relaksasi dapat mengurangi angka pengangguran atau tidak. Nanti kita lihat beberapa waktu ke depan,” kata Asghar Saleh yang juga bakal calon Walikota Ternate itu.
Indikatornya, kata dia, apakah para pekerja di sektor informal itu dapat kembali bekerja setelah dirumahkan, ataukah justru tetap menjadi pengangguran.
Tetapi yang pasti, Asgar mengatakan, basis penerapan relaksasi itu, pada protokol kesehatan sehingga jika ada relaksasi di sektor lain, protokol kesehatan yang sudah disyaratkan itu harus diperketat.
“Jangan sampai warga menganggap kondisi sudah pulih, kemudian tidak menjalankan protokol kesehatan lagi. Itu yang harus diperketat,” ujarnya.
Menurut Asgar Saleh, jika pemerintah hanya mengimbau warganya agar patuh pada protokol kesehatan, itu tidaklah efektif. Sanksi tegas kepada warga yang tak patuh harus dilakukan agar warga tak masa bodoh.
“Jika tidak ada sanksi, saya khawatir relaksasi tidak akan berhasil, karena karakter orang Ternate itu acuh tak acuh,” nilainya.
Ketua Himpunan Psikolog Indonesia (Himpsi) Provinsi Malut, Dewi Mufidatul Ummah menilai, secara psikologis penerapan relaksasi di Kota Ternate yang baru saja dimulai itu, belum efektif. Bahkan, pemerintah setempat dinilai belum terlalu serius menegakan aturan relaksasi itu.
“Pemkot Ternate harus lebih ketat, karena masyarakat kita ini suka bermasa bodoh atau acuh tak acuh,” nilainya.
Dosen Psikologi Universitas Khairun Ternate ini menilai sikap masa bodohnya masyarakat, karena masih banyak yang bingung dengan kondisi sekarang ini.
“Peraturan harus tegas sampai di tingkat paling bawah. Jika tidak, masyarakat akan memilih tidak peduli,” kata Founder Laksita Dev Center ini.
Apalagi, katanya, masih ada masyarakat yang belum paham dengan protokol kesehatan. Masih menganggap masker tidak terlalu penting, apalagi harus mencuci tangan dengan sabun di air mengalir setiap dan setelah beraktivitas.
“Masyarakat belum merasakan dampak dari kepatuhan mengikuti protokol kesehatan, makanya bermasa bodoh sehingga relaksasi yang diterapkan belum efektif,” ungkapnya.
Dewi Mufidatul Ummah menyarankan, jika mau melihat keberhasilan relaksasi, pemerintah perlu melakukan terapi kejut dengan penegakan aturan yang ketat dan tegas terhadap warga yang tidak patuh.
“Uji coba aturan yang tegas itu sebulan saja. Barulah kita lihat, pakah ada dampaknya atau tidak. Tetapi itu semua tergantung political will (kemauan politik) pemerintah,” tandasnya. *
Tinggalkan Balasan