Kawasi merupakan kampung tertua di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Luasnya mencapai sektiar 286 KM2, dengan lebih dari 1.118 jiwa penduduk.

Masyarakat Kawasi hidup di daratan dan pesisir Pulau Obi sejak tahun 1980-an. Mereka termasuk para pendatang dari Tobelo-Galela di Pulau Halmahera, dan sebagian lagi dari Buton. Mata pencaharian warga adalah berkebun dan melaut.

Sejak perusahaan tambang masuk dan beroperasi, Kawasi yang semula warga hidup damai, bertani dan melaut, berubah menjadi area pertambangan yang meluluh-lantakan wilayah daratan, pesisir, dan laut.

Lahan-lahan warga mereka caplok, tanaman perkebunan lenyap, sumber air tercemar, udara penuh dengan debu dan polusi, air laut keruh kecoklatan.

Bahkan, ikan-ikan tercemar logam berat.

“Menyedihkan.  Proses pencaplokan lahan-lahan warga itu dengan cara kekerasan dan intimidasi,” tulis Jatam lagi.

Bahkan, sebagian warga yang menolak penggusuran untuk tambang nikel, justru berhadapan dengan tindakan represif aparat negara dan perusahaan,” tulis Jatam dalam rilisnya.

 Hampir seluruh sumber air warga Kawasi telah tercemar, akibat sedimentasi ore nikel dari operasi perusahaan.

Warga bisa mendaparkan air gratis, sebelum tambang masuk dan beroperasi. Tapi kini, warga harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air bersih.

“Sebagian warga yang secara ekonomi kekurangan, terpaksa tetap bergantung pada sumber air yang telah tercemar,” tulis Jatam.

Air Cermin dan Sungai Loji, yang sebelumnya sebagai sumber air bersih, kini telah lenyap.

Karena perusahaan membongkar sebagian besar kawasan hutan di daratan hingga pesisir.

Sementara Sungai Ake Lamo, sungai terbesar di Pulau Obi, perusahaan tambang telah membongkar kawasan hulunya.

Bukit-bukit yang menjadi daerah aliran dan badan sungai telah hancur, menyebabkan sungai ini dalam kondisi tercemar dan rusak.

Pihak perusahaan juga merusak ruang laut tempat nelayan mencari ikan di Pulau Obi.

Limbah-limbah mereka buang ke sungai-sungai, dan mengalir ke laut, menyebabkan pesisir dan laut berubah warna menjadi keruh kecoklatan.

“Pipa-pipa pembuangan limbah dari aktivitas perusahaan tambang nikel, diduga mengarah ke laut, menyebabkan ekosistem dan ikan-ikan rentan tercemar logam berat,” kata Jatam. (*)