PALU, KAIDAH.ID – Sekelompok anak muda Palu itu, tidak hanya sekadar nongkrong di warung kopi, sehabis Shalat Tarawih. Tapi mereka punya empati, terhadap orang-orang yang kurang mampu secara ekonomi.
Puasa Ramadhan, memang telah menjadi mengasah rasa kasih sayang mereka terhadap sesama. Dan memang begitu seharusnya bagi setiap muslim yang berpuasa.
Untuk mewujudkan rasa empati terhadap sesama, sekelompok anak muda Palu itu kemudian membentuk komunitas kecil. Mereka beri nama TBM, singkatan Telur Beras dan Minyak.
Komunitas ini tidak punya kepentingan apa-apa, apalagi politik. Mereka hanya mau berbagi sembako kepada saudara-saudara muslim yang kekurangan. Bantuan itu juga, mereka peroleh dari beberapa donatur di Kota Palu.
Lantas bagaimana perjalanan TBM mewujudkan rasa empati mereka. Berikut kisahnya:
BELLA tersenyum simpul menerima sekarung beras dari Ami Ges. Kemudian ia menerima lagi sebungkus minyak goreng dari Payung. Lalu, Anca juga menyerahkan satu rak telur ayam.
“Terima kasih bapak-bapak, semoga semuanya selalu sehat dan mendapat limpahanrezeki. Bantuan ini sangat tepat, karena harga beras di pasar naik lagi,” kata Bella kepada lima orang yang datang membawa sembako di rumahnya.
Sabtu, 1 April 2023 petang itu, komunitas Telur, Minyak, dan Beras (TBM), menyambangi rumah Bella di Jalan Asam 2, Palu Barat.
Ami Ges bersama Baso, La Remmy, Payung, dan Anca. Mereka berlima keliling menyerahkan sembako ke beberapa keluarga kurang mampu di Kota Palu.
Anggota komunitas lainnya, seperti Neny, Cuit, Kiki, Maman, dan lainnya belum sempat ikut bergbung.
Bella, wanita yang memasuki usia remaja itu, Sabtu itu hanya bersama satu adiknya. Dua adiknya yang lain serta ibunya, Nurlia
sedang keluar rumah.
Mereka tinggal di sebuah gubuk di Jalan Asam 2, Palu Barat. Nurlia bersama empat anaknya tidak punya rumah.
Bersama anak-anaknya, Nurlia menggunakan lahan orang dan membangun gubuk. Tapi lahan yang mereka tempati itu, sekarang sudah laku terjual oleh pemiliknya.
Beruntung, pembeli lahan itu masih mengizinkan mereka tinggal di situ.
Suami Nurlia sudah meninggal duinia. Untuk menafkahi keluarganya, Nurlia bekerja sebagai tukang sapu di sebuah sekolah (madrasah).
Tinggalkan Balasan