Fransiscus Manurung
Praktisi Hukum di Kota Palu

Sebaiknya jangan coblos Gibran. Tapi coblos saja Prabowo. Gampang toh. Kata Gus Dur: “Gitu aja kok repot”. (*)

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) No.90/PUU-XXI/2023 membuat heboh dunia perpolitikan Nasional. Putusan tersebut dinilai banyak orang “ada apa-apanya”, karena akhirnya dapat meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres Prabowo Subianto.

Banyak yang menggugat putusan itu, karena dianggap “ada apa-apanya” sebab Gibran adalah putra sulung Joko Widodo (Jokowi). Kemudian Ketua MK Anwar Usman, adalah ipar Jokowi atau paman Gibran.

Dengan begitu, walaupun Gibran yang belum berusia 40 tahun, tetapi bisa menjadi cawapres.

Padahal, syarat usia paling rendah 40 tahun yang diatur dalam pasal 169 huruf q UU Pemilu adalah open legal policy, yang secara absolut merupakan kewenangan DPR bersama Presiden, atas dasar pendelegasian konstitusi dalam pasal 6 ayat (2) UUD 1945.

Gibran dapat menjadi cawapres, karena MK menilai, pejabat negara yang berpengalaman sebagai anggota DPR, anggota DPR, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sesungguhnya layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional in casu sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilu meskipun berusia di bawah 40 tahun.

Karena itulah, berbagai penolakan pun muncul. Salah satunya, putusan tersebut dipandang tidak sah dan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum bagi Gibran ,untuk mendaftarkan diri ke KPU.
Argumentasinya pun beraneka rupa.

Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah Agung. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan UUD 1945 adalah menguji Undang-Undang dengan tolok ukur UUD 1945.

Pengujian dapat dilakukan secara materil ataupun formil. Pengujian materil menyangkut pengujian atas materi undang-undang, sehingga harus jelas bagian mana dari undang-undang (bab, pasal, kalimat atau kata) yang bersangkutan bertentangan dengan UUD 1945.

Sedangkan, pengujian formil adalah pengujian mengenai proses pembentukan undang-undang tersebut menjadi undang-undang dan apakah telah mengikuti prosedur yang berlaku atau tidak.

Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 adalah putusan pengujian materil, yang akibat hukumnya meloloskan Gibran menjadi cawapres, merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir, yang sifatnya
final dan mengikat (final and binding).

“Final” bermakna putusan MK No. 90 tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde) dan mengikat, setelah selesai diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum, dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh untuk melawan putusan tersebut.

“Mengikat” bermakna putusan No. 90 tersebut tidak hanya berlaku bagi para pihak yang terlibat dalam perkara tersebut, tetapi juga berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia (erga omnes).

Lantas, bagaimana kalau putusan MK No.90 tersebut keliru?

Ya, Putusan MK No. 90 itu harus selalu dianggap benar dan wajib dilaksanakan, meskipun – jika seandainya – ternyata salah”. Sebab, terhadap putusan hakim yang dibuat berdasar kebebasan dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, berlaku asas hukum “Res Judicata Pro Veritate Habetur”.

Artinya, Putusan MK No. 90 tersebut pasti benar. Jika seandainya salah, pun harus dianggap selalu benar.

Lalu, kalau masih ada yang keberatan?

Sebaiknya jangan coblos Gibran. Tapi coblos saja Prabowo. Gampang toh. Kata Gus Dur: “Gitu aja kok repot”. (*)