Penulis: Umar Usman
Pertama. Tahu, tetapi tidak merasa tahu. Tahu adalah awal dari mengetahui yang kemudian akan menuntun kita pada pengetahuan. Hulunya rasa ingin tahu. Hilirnya, rasa tidak tahu.
Semakin kita mengetahui sesuatu, maka semakin banyak yang tidak kita ketahui. Semakin banyak pengetahuan yang kita punya, maka semakin banyak pula pengetahuan tentang ketidaktahuan kita. Itulah kenapa ketidaktahuan juga menjadi bagian penting dari pengetahuan, sebab Yang Maha Tahu hanyalah Allah.
“Katakanlah: “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?” (QS al Hujurat [49]: 16).
Kedua. Bisa tapi tidak merasa bisa. Kelahiran atau kemunculan kita di dunia ini, adalah keajaiban luar biasa. Kita tidak pernah memesan akan lahir dari rahim ibu yang mana; jadi lelaki atau perempuan; jadi miskin atau kaya; jadi pandir atau bijaksana; jadi bromocorah atau penganjur kebaikan. Tidak. Kita hanya sedang diberi kebisaan melakukan apa yang berkenaan dengan hidup masing-masing.
“Bisa merasa, tapi jangan merasa bisa,” begitu pesan dari Sunan Kalijaga beberapa abad silam. Bisa merasa akan berdampak pada kekayaan perasaan. Merasa bisa akan berujung pada kesombongan, sebab Yang Maha Kuasa atas segalanya hanyalah Allah semata.
“Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS ar-Ruum [30]:50).
Ketiga. Punya tapi tidak merasa punya. Apa yang kita punya dan miliki selama ini, seolah adalah hasil dari jerih payah sendiri. Capaian dari segala kerja keras yang kita lakukan, padahal sesungguhnya tak demikian adanya.
Banyak orang yang susah payah bekerja, hasilnya tak memuaskan. Ada juga yang gigih berusaha dan jadi kaya. Malah ada juga yang sudah banting tulang siang-malam, tetapi miskin papa sampai tua.
Sebaliknya, ada segelintir manusia yang sama sekali tak berbuat apa-apa. Namun ia mendapatkan apa yang tak ia upayakan. Justru cenderung berlebihan. Itu adalah bukti betapa sejatinya Yang Maha Memiliki hanyalah Allah saja.
“Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”
(QS Saba’ [34]:1).
Keempat. Hidup tapi tidak merasa hidup. Saat kita hidup, sering kita saksikan beberapa dari saudara dan manusia lain yang menjelang ajalnya. Kita semua lahir dan kemudian akan mati. Lalu ke mana?
Tidak usah terlalu dipikirkan. Kita hanya perlu merenungi kenapa kita diberi kehidupan yang sedemikian rupa ini. Lebih utama dari itu, kita perlu mencari cara bagaimana menikmati hidup yang hanya sekali saja dan takkan terulang kembali, selamanya.
Kita ini hanya dipinjami hidup, untuk kemudian dipertanggungjawabkan. Dikembalikan pada yang punya hidup itu sendiri. Kita harus menemukan di mana hidup itu diletakkan Tuhan. Sebab hanya Dialah Maha Pemilik Hidup.
“Dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi), sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat mengingkari nikmat.” (QS al Hajj [22]: 66).
Kelima. Ada tapi tidak merasa ada. Selama ini, kita hanya merasa ada. Tepatnya, mengada-ada, padahal adanya kita, bergantung pada ke-Ada-an Allah. Namun, ada atau tidak adanya kita, tidak berpengaruh apapun pada Ada-nya Allah. Dia tak bergantung pada keadaan yang lain. Semua selain Dia, bergantung kepada-Nya. Semua tanpa Dia, hakikatnya fana/tiada.
Bilangan berapa pun ketika berbanding/berhadapan dengan bilangan tak terhingga = nol/fana/sirna/moksha. Ketika sama-sama mencapai titik nol, di sana tidak ada lagi perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman dalam keesaan. Keesaan dalam keragaman. Hanya Allah saja Yang Maha Ada.
“Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tiada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.”(QS al Ikhlas [112]: 1-4).
Dalam khazanah tradisi bangsa Nusantara, Jawa misalnya, kita bisa menemukan beberapa petunjuk bijak yang mengajak manusia hidup berbahagia. Seperti pesan yang berbunyi: ngerti sejatining urip: memahami hidup yang sejati, dalam suka-duka, dan warna-warninya.
Hidup sejak zaman Adam hingga hari ini, isinya hanya seputar perasaan yang berputar-putar, berjalin kelindan. Tabularasa. Melulu tentang perjumpaan-perpisahan, kelahiran-kematian. susah-senang, sedih-bahagia. Apa pun yang terjadi dalam hidup kita, semua adalah paduan dari perasaan itu. Oleh karena itulah, kita hanya cukup mengaktifkan nrimo ing pandum: bahwa segala dalam hidup ini adalah anugerah-Nya.
Bagian dari mung sadermo nglakoni: lakon drama Sang Sutradara kehidupan. Cukup dengan menikmati dan mensyukuri. Selalu berprasangka baik kepada-Nya. Pasrah, ridha, dan penuh cinta. Bersuka cita dalam segala hal. Kembangan, 25 November 2019
Kembangan, 25 November 2019
Tinggalkan Balasan