—- Fransiscus Manurung —-

Bagi saya, menjadi seorang advokat bukanlah kebetulan. Bukan pula karena terpaksa. Melainkan cita-cita. Terobsesi menjadi ahli hukum profesional, berintegritas, yang membekali diri dengan penguasaan atas  ilmu pengetahuan, utamanya ilmu hukum  dengan standar tinggi.  Advokat adalah masa depan ! Meskipun tak “digaji” negara.

Mentor pertama yang mendidik saya, melatih mental dan skill, pembentukan kepribadian dan karakter  (character building) menjadi advokat (1988)  adalah, yang terhormat dan terpelajar Dr. Bustamin Nongtji, SH.MH,  Dekan Fak Hukum Universitas Tadulako (Untad) Palu pada masa itu.

Salah satu ajaran beliau: “Untuk menjadi advokat itu tidak mudah, banyak kesulitan, tantangan dan godaan.  Kejujuran adalah keutamaan, belajar sepanjang hidup adalah keharusan. Advokat harus bekerja dengan hati-hati,  seperti berselancar  meniti puncak gelombang ombak di lautan bebas.  Satu kali jatuh, tidak akan bisa bangkit kembali, karena akan kehilangan kepercayaan masyarakat (public trust) dan sangat sulit untuk dibangun kembali”.

Mentor kedua,  yang terhormat dan terpelajar, Prof. Dr. Rudi Prasetyo, Guru Besar Hukum Bisnis di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Setelah lulus seluruh mata kuliah tentang Hukum Bisnis, yang beliau asuh (1995) saya direkrut menjadi asisten di law office, kantor hukum  “papan atas” di Surabaya, milik beliau bersama stakeholder lainnya. Studi sambil bekerja.

Ajaran beliau yang berkesan adalah mengenai (I) advokat harus menjadi tuan bagi diri sendiri, dan (II) naluri juridis.

Advokat, bersisi dua. Di satu sisi sebagai ahli hukum yang bekerja untuk kepentingan klien, di sisi lain sebagai  penegak hukum yang bekerja demi kepentingan hukum. Kedua peran tersebut bukan untuk dipisahkan ataupun dibedakan, tetapi justru harus  diintegrasikan menjadi satu kepribadian  dalam diri advokat. Seorang advokat harus membentuk dirinya menjadi ‘ahli hukum yang  penegak hukum, penegak hukum yang ahli hukum’ agar dapat  menjadi “tuan bagi dirinya sendiri” (I’m my own master), mandiri,  independen dan berpendirian kukuh sehingga tak mudah “dipengaruhi” pihak lain.

Selain itu, advokat juga harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya hal-hal buruk, dengan cara  melatih dan mempertajam “naluri juridis”, yaitu  kepekaan batin mendeteksi adanya kecurangan dan/ataupun ketidakbenaran, baik berupa informasi, data maupun dokumen, yang “terselip” ataupun “diselipkan” dalam suatu kasus hukum.

Naluri juridis yang terlatih, merupakan mata batin yang secara dini memberi alarm kepada diri advokat, agar meningkatkan kewaspadaan sehingga tidak terjebak dalam kubangan (bandingkan : dengan kejadian para advokat yang terperangkap dalam kasus Ferdy Sambo).

Seiring dengan perjalanan waktu menjelang 35 tahun “masa dinas”, ajaran para guru yang terpelajar tetap dijunjung tinggi. Namun, pemaknaan terhadap advokat mulai berubah.

Dalam perenungan saya, advokat tidak lagi  hanya sebagai profesi hukum semata, bukan pula sekadar  tumpuan masa depan, melainkan panggilan hidup.

Pilihan menjadi advokat adalah panggilan hidup untuk melayani sesama, berkarya dan  mengabdikan diri pada ladang pengabdian atas kesadaran bahwa  ilmu pengetahuan beserta  keahlian tinggi yang dimiliki, diperoleh berkat anugerah Tuhan,  untuk diabdikan kembali kepada  masyarakat sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan.

Kedermawanan (charity) advokat, bukanlah dengan menghadiahkan uang atau harta, melainkan dengan mengabdikan ilmu pengetahuan dan keahlian yang dimiliki, untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan, utamanya kaum marjinal.

Dalam bahasa kaum santri, “berilmu amaliah, beramal ilmiah”.

Salam Advokat !