Refleksi Salihuddin M. Awal

HARI ITU, Jumat, 28 September 2018, Kota Palu seperti hari lain. Aktivitas warga berjalan seperti biasa. Namun sehari sebelumnya Kota ini baru saja memperingati ulang tahun yang ke 40. Ada dzikir akbar di Lapangan Vatulemo Palu, sebagai ungkapan syukur atas hari jadi kota itu.

Di sisi lain, masyarakat Kota Palu pada umumnya, baru saja sampai di rumah dari tempat kerja. Namun di jalan juga ramai. Dua pusat perbelanjaan juga sedang banyak pengunjung karena jelang hari libur. Besoknya.

Kumandang adzan Magrib di masjid-masjid sudah di akhir. Bahkan ada masjid yang baru memulai Salat Magrib.

Suasana di Ring Road Pantai Talise sedang ramai. Panggung dan tenant sudah rapi. Masyarakat sudah ramai. 30 menit yang lalu, baru saja selesai latihan pembukaan pesta Festival Palu Nomoni. Sebuah pesta yang dibuat memperingati Ulang Tahun Kota Palu.


Di masjid yang lain, tepat jam 18.00 Wita, Adzan Magrib berkumandang. Selesai 3 menit. Dilanjutkan Iqomat. Seorang Imam memimpin salat jamaah. Makmum mengikuti.

Surah al Fatihah mengalun penuh khusyu. Surat di dalam Al Quran yang wajib dibaca saat salat. Dengan kekhusyuan hati, pikiran dan gerakan menuju Sang khaliq, tiba-tiba bumi berguncang.

Jamaah masjid, masyarakat kota, orang-orang di pinggir pantai berlarian tak tentu arah. Di seluruh kota sedang bergoyang. Masyarakat panik. Guncangannya keras sekali. Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar, orang berteriak sahut-sahutan.

Ketenangan berubah jadi kepanikan. Kekhusyuan menjadi ketakutan. Barang-barang di rumah pecah dan jatuh berantakan. Gedung-gedung luluh lantak. Teriakan minta tolong membahana di seantero kota. Namun tidak ada yang bisa menolong. Tetangga, bahkan orang yang terdekat dengan diri kita, semuanya gemetar. Mereka ketakutan.


Di Kelurahan Petobo, Palu Selatan, mencekam. Setelah tanah bergoyang dahsyat, ada suara gemuruh. Penduduk Petobo tidak tau dari mana datangnya suara gemuruh itu. Semakin lama semakin keras.

Teror massal sedang melanda. Tanah tempat mereka berpijak, rumah dan gedung yang berdiri kokoh ikut bergerak. Sebagian bahkan ikut dan berkejaran dengan tanah yang sedang bergerak itu. Seketika perumahan Petobo luluh lantak. Ribuan penghuninya tertimbun dengan rumah dan hartanya serta saudaranya.

Masyarakat Petobo dan kota pada umumnya masih bingung apa sebenarnya yang terjadi dengan tanah yang bergerak itu. Sampai sepekan kemudian, orang baru mengenal likuefaksi setelah mendengar penjelasan ahli.

Belakangan diketahui, bukan hanya Petobo, tapi tanah bergerak (likuefaksi) terjadi juga di Perumnas Balaroa dalam wilayah Palu Barat dan beberapa tempat di Kabupaten Sigi.

Di bagian Pantai Talise, kepanikan dan ketakutan juga melanda. Pantai yang sedang ramai pengunjung itu tiba-tiba hancur. Orang-orang berlarian menyelamatkan diri. Mereka melihat ombak besar dengan kecepatan tinggi menuju ke daratan. Sebagaian sadar ini terjadi tsunami akibat gempa yang sedang mengguncang.

Sepanjang Pantai Talise ke arah Banawa di Donggala dan ke arah Pantai Barat, tsunami melanda. Permukiman porak-poranda.


Tanggal 28 September 2018, menjadi peristiwa traumatis yang sampai sekarang masih membekas di pikiran masyarakat kota Palu. Trio Bencana: gempa bumi Magnitudo 7,4, Tsunami, dan Likuefaksi menjadi momen sejarah Kota Palu yang tidak pernah terlupakan. Bersama dengan bencana itu, kita kehilangan saudara, teman, sahabat yang tidak ternilai berapapun. Tidak kurang dari 4.340 orang meninggal (angka resmi). Tidak termasuk harta Sulawesi Tengah dengan jumlah 15 triliun yang luluh lantak.

Hari ini, 28 September 2023, peristiwa dahsyat itu kembali diperingati. Kita diingatkan untuk kembali waspada, bahwa daerah kita memang terletak di daerah petahaan yang sewaktu waktu dapat bergoyang kembali.

Kepada korban keluarga, sahabat bahkan masyarakat yang tidak teridentifikasi, mereka adalah para syuhada yang sudah dijamin mendapat kebahagiaan di sisi Ilahi Rabbi. Allahummagfirlahum warhamhum wa’afihi wa’fu ‘anhum. (*)