Oleh: Tasrif Siara

ENAM TAHUN TELAH BERLALU sejak gempa dahsyat mengguncang Bumi Tadulako. Pada 28 September 2018, tanah Sulawesi Tengah bergetar hebat dengan kekuatan Magnitudo 7,4. Tak hanya gempa, tsunami dan likuefaksi turut meluluhlantakkan wilayah ini, meninggalkan jejak duka yang dalam.

Lebih dari 4.300 jiwa meregang nyawa, ribuan orang terluka, dan puluhan ribu kehilangan tempat tinggal. Angka-angka ini hanyalah permukaan dari realitas yang jauh lebih kompleks. Di balik setiap angka, ada kehidupan yang terenggut, keluarga yang tercerai-berai, serta impian yang pudar.

Peristiwa tersebut mengingatkan kita akan pentingnya kesiapsiagaan. Tinggal di wilayah patahan, seharusnya menjadi pengingat, bahwa edukasi tentang mitigasi bencana mutlak diperlukan.

Bagaimana cara bertindak saat gempa terjadi, metode evakuasi yang aman, hingga pentingnya membangun rumah dengan konstruksi tahan gempa, adalah pengetahuan dasar yang harus dipahami setiap warga.

Setelah tragedi itu, muncul berbagai inisiatif mitigasi bencana. Namun, konsistensi dalam pelaksanaan dan diseminasi pengetahuan sangat diperlukan. Kita tidak bisa hanya berhenti pada teori, implementasi nyata harus terus dilakukan agar masyarakat siap menghadapi kemungkinan bencana di masa mendatang.

Bencana ini juga menjadi cermin betapa pentingnya solidaritas. Sejak hari pertama, relawan dari berbagai daerah, baik individu maupun organisasi, bergerak memberikan bantuan. Mereka hadir dengan logistik, tenaga medis, dan dukungan moral yang tak ternilai bagi para penyintas.

Keterlibatan masyarakat dari berbagai penjuru, baik nasional maupun internasional, membuktikan bahwa rasa kemanusiaan masih kuat di antara kita. Kebersamaan ini adalah sesuatu yang tak boleh dilupakan.

Namun, meski bantuan terus mengalir, tantangan besar masih dihadapi oleh warga Palu, Sigi, dan Donggala. Proses pemulihan belum usai. Infrastruktur yang rusak belum sepenuhnya pulih, dan trauma psikologis terus menghantui para penyintas. Ini adalah kenyataan sehari-hari yang membutuhkan perhatian serius.

Setiap tahun, pada 28 September, peringatan dilakukan untuk mengenang para korban. Doa bersama, aksi sosial, dan kampanye kesadaran bencana menjadi cara untuk menghormati mereka yang telah tiada.

Mengingat mereka, bukan sekadar mengenang tragedi, tetapi juga menanamkan kesadaran bagi generasi muda, agar tetap menjaga ingatan kolektif tentang tragedi yang pernah terjadi, agar waspada dan siap menghadapi bencana di masa depan.

Meski enam tahun telah berlalu, kenangan tentang bencana ini masih menyisakan rasa haru di hati kita. Kita perlu terus mengingat, bukan untuk meratapi, melainkan untuk belajar. Setiap tragedi membawa pelajaran berharga yang harus kita petik.

Dalam menghadapi bencana seperti tsunami dan likuefaksi di masa depan, kita harus lebih siap, lebih tangguh, dan lebih bersatu.

Editor: Ruslan Sangadji