PALU – Pasca terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor  Tahun 2012, Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Mellalui Kegiatan Pengelolaan dan Permunian, diharapkan dapat memberikan haapan baru bagi peningkatan PAD, karena dibangunnnya smelter di daerah, khusus di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara.

Lantaran itu, pemerintah daerah berusaha maksimal memberikan kemudahan dan jaminan keamanan investasi, karena diyakini selain menyerap tenaga kerja, juga dapat memberikan peningkatan dana bagi hasil dari produksi Nickel Pig Iron (NPI) yang dihasilkan dari smelter.

“Tetapi ternyata, harapan itu tidak sesuai kenyataan,” kata Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola.

Menurut Gubernur, situasi itu diperburuk lagi dengan adanya dualisme perijinan yang diberikanoleh pemerintah kepada pemilik smelter, yakni IUP – OP Khusus (Ijin Usaha Pertambangan – Operasi Produksi) yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM sesuai Permen Nomor 11 Tahun 2018 dan IUI (Ijin Usaha Industri) yang diterbitkan Kementerian Perindustrian sesuai Peratran Pemerintah Nomor 107 Tahun 2015.

Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola meminta agar perusahaan smelter di Sulawesi Tengah, dapat berkontribusi terhadap daerah, guna  meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).  Gubernur menyampaikan itu, karena perusahaan smelter yang selama ini beroperasi di Morowali, tidak menyetor royalty ke kas daerah.

“Jangankan setor ke daerah untuk peningkatan PAD, dana CSR saja tidak diberikan kepada masyarakat di sekitar tambang. Padahal, Smelter tersebut mendapatkan keuntungan yang luar biasa besar dari hasil olahan bijih nikel,” tegas Gubernur Longki Djanggola.

Gubernur Longki mengatakan  perusahaan tambang nikel yang  telah membangun smelter terbesar di Indonesia saat ini, ada di wilayahnya, tetapi tidak ada kontribusi yang diberikan kepada daerah. Padahal, perusahaan tambang itu telah menyetor royalti kepada negara sebesar sekitar Rp2 triliun di tahun 2018.

Menurut Gubernur, saat ini terdapat 11 smelter yang beroperasi di wilayahnya. Seharusnya, dari hasil kalkulasi, pembagian dana bagi hasil yang didapat dengan produksi 6,3 juta ton NPI per tahun dari smelter itu, sebesar sekitar Rp212,7 triliun.

Sedangkan dana bagi hasil yang didapat dari produksi smelter, kata Gubernur Longki, seharusnya Provinsi Sulawesi Tengah mendapat bagian Rp1,36 triliun per tahun, kemudian bagian untuk kabupaten/kota sebesar Rp2,72 trilun per tahun dan pembagian kabupaten/kota lainnya sebesar Rp226,9 miliar.

Bukan hanya itu, kata Gubernur, apabila hanya  produksi ore maka dana bagi hasil untuk daerah sebesar Rp81,8 triliun. Kemudian total dana bagi hasil yang didapat dari produksi ore 10 persen, sebesar Rp1,31 triliun per tahun. Selanjutnya, pembagian 32 persen bagian kabupaten/kota penghasil per tahun sebesar Rp2,61 triliun, dan pembagian 32 persen bagian kabupaten/kota lainnya sebesar Rp218,2 miliar per tahun. 

“Tapi daerah dapat apa dari semua itu?,” tegas  Gubernur Longki.

Menurut Gubernur, dari semua itu, Pemerintah Daerah tidak menerima dana bagi hasil, dan sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.010/2017 maka produk NPI yang dihasilkan oleh industry smelter dikenakan tarif nol persen.

Gubernur Longki mengatakan, pemberlakuan IUP Khusus dengan royalty hasil pengolajam/pemurnian akan sangat menolong pemerintah daerah selaku daerah penghasil. Jika digunakan IUI, hanya dikenakan PPh 21, PPh 22, PPh 24 dan PPh 25 tanpa ada peningkatan nilai tambah di daerah.

“Belum lagi hasil dari PPN para pekerja, jika berkantor pusat di Jakarta, maka pajaknya langsung dibayarkan di Jakarta, di daerah tidak dapat,” sesal Gubernur.

Padahal, menurut Gubernur Sulteng dua periode itu, perusahaan smelter yang beroperasi di daerahnya, telah menerima insentif berupa  tax holiday, tax allowance, bebas bea masuk termasuk bebas bea keluar untuk hasil olahan Smelter yang diekspor.

Jadi, kata Gubernur Longki, perusahaan-perusahaan itu hanya mengeruk kekayaan dan merusak lingkungan di daerah.

“Kita terus dirugikan dari aktivitas tambang itu,” tegas gubernur.

 Tidak hanya itu, menurut Gubernur Longki, smelter juga hanya menyerap Bijih Nikel Kadar Tinggi, sedangkan banyak perusahaan pertambangan di Sulawesi Tengah, yang hanya memiliki kandungan bijih nikel kadar rendah. Akhirnya perusahan-perusahaan tambang tersebut tidak bisa melakukan kegiatan produksi dan penjualan ke smelter tersebut,

Lantaran itu, Gubernur Longki Djanggola menyatakan, sangat mengapresiasi perjuangan yang dilakukan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dalam memperjuangkan Penambang Nikel Nasional, untuk harga patokan mineral (HPM) bijih nikel.

Jika transaksi bijih nikel berjalan sesuai aturan seperti yang tertuang dalam Permen ESDM No 11 Tahun 2020, secara otomatis akan berdampak juga ke PAD dari royalti yang dibayarkan oleh penambang sebesar 10% dari HPM.

“Secara tidak langsung, yang berkontribusi untuk PAD adalah penambang, karena royalti dan PPH dibebankan di hulu, yaitu di penambang bukan di smelter,” kata dia.

Jika Smelter bisa melakukan transaksi pembelian bijih nikel sesuai HPM, dan bisa menyerap bijih nikel kadar rendah, maka akan terjadi keseimbangan atas pengusaha lokal, dan berdampak juga ke lingkungan dan daerah sekitar tambang.

“Saya juga ingin menyampaikan, pembentukan Tim Satgas HPM seharusnya melibatkan pemerintah daerah, karena kami yang lebih tahu bagaimana kondisi di lapangan. Tapi sayangnya, Tim Satgas HPM yang dibentuk Kemenko Maritim dan Investasi melalui Kepmenko 108 Tahun 2020 sama sekali tidak melibatkan daerah,” kata Gubernur.

Dalam waktu dekat ini, Gubernur Longki Djanggola akan menginisiasi pertemuan bersama dua gubernur lainnya, yakni Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi dan Gubernur Maluku Utara, KH Abdul Gani Kasuba, untuk membicarakan tentang perlunya perusahaan smelter di 3 provinsi sebagai penghasil nikel itu, dapat berkontribusi terhadap daerah untuk peningkatakan PAD. *