“Coba renungkan baik-baik. Tentara, yang peralatan wajibnya adalah senjata, bisa turun ke medan tanpa senjata. Mengapa kita sebagai penyuluh, merasa perlu dikawal tentara bersenjata?”

Oleh: Muhd Nur Sangadji

TANGGAL 5 OKTOBER 2024. Matahari baru saja terbit, namun langit seakan masih menyimpan kesenduan dari malam sebelumnya. Hari itu adalah Hari Tentara Nasional Indonesia. Ada sesuatu yang hilang, semarak yang dulu pernah memenuhi jalan-jalan dan panggung peringatan terasa meredup.

Di hari yang sama, dunia memperingati Hari Guru Sedunia. Hari ini adalah persimpangan dua dunia: dunia tentara, yang di satu sisi menegakkan kedaulatan dengan senjata, dan dunia guru, yang membangun bangsa dengan ilmu.

Empat hari sebelumnya, 1 Oktober, adalah Hari Kesaktian Pancasila. Di antara tanggal-tanggal ini, ada pertanyaan yang mengendap dalam benak saya, pertanyaan yang muncul saat saya berdiri di depan sekumpulan penyuluh agama di sebuah acara di Kota Palu.

Saat itu, saya adalah satu dari tiga pemateri. Peserta yang hadir adalah mereka yang sehari-hari berinteraksi dengan masyarakat, membimbing dengan kata-kata dan pengetahuan—penyuluh yang juga bisa disebut sebagai “guru masyarakat.”

Yang membuat saya tercengang, bukanlah tema acara atau penyajian materi, tetapi sebuah pertanyaan sederhana namun mengusik dari seorang peserta. Saat itu, seorang tentara turut menjadi pemateri, seorang perwakilan dari Korem 132 Tadulako.

Salah seorang peserta berdiri, suaranya datar namun penuh arti: “Bapak sebagai tentara memiliki senjata, sementara kami sebagai penyuluh tidak. Mungkin tentara bisa ikut mengawal kami saat melakukan penyuluhan, apalagi jika topiknya tentang terorisme”.

Kata-kata itu terucap begitu saja, namun dampaknya menggema di dalam kepala saya. Saya terkesima. Apakah para penyuluh ini merasa perlu dikawal oleh tentara bersenjata, untuk melakukan tugasnya? Apakah ketakutan telah menggantikan keyakinan, bahwa pendidikan dan penyuluhan dapat berjalan tanpa perlindungan fisik?

Ketika tiba giliran saya berbicara, saya mengisahkan sebuah percakapan legendaris antara dua pemimpin besar: Soekarno dan Yusef Tito, Presiden Yugoslavia.

Yusef Tito, dengan bangga berkata, ia membekali rakyatnya dengan senjata-senjata canggih, untuk menjaga keutuhan negaranya. Namun Soekarno, dengan pandangan yang jauh melampaui zamannya berkata, ia membekali rakyat Indonesia dengan sesuatu yang lebih kuat—ideologi Pancasila. “Dengan itu,” kata Soekarno, “rakyatku akan menjaga keselamatan dan kelangsungan Indonesia”.

Dan sejarah menjadi saksi. Yugoslavia yang dibekali dengan senjata bubar, sementara Indonesia, yang dibekali dengan keyakinan ideologis, tetap berdiri meski dilanda badai sejarah.

Setelah menyampaikan cerita itu, saya mendengar tanggapan dari Pak Mansur, yang mewakili Danrem saat itu. Ia berbicara dengan tenang, namun kata-katanya menyentuh sisi terdalam dari apa yang seharusnya kita percayai sebagai manusia.

“Saya sering turun ke lapangan di Papua dan daerah-daerah konflik lainnya,” katanya, “tanpa membawa senjata. Kalau ada senjata yang saya bawa, itu adalah hati”.

Kata-katanya mengguncang saya untuk kedua kalinya. Tentara, sosok yang identik dengan senjata, berbicara tentang kekuatan hati. Tentara ini berjalan tanpa senjata fisik, namun dilengkapi dengan tekad dan keberanian moral.

Saya menoleh kepada para penyuluh yang duduk dengan penuh perhatian. Mereka, yang datang dari berbagai penjuru daerah, menjalankan tugas mulia sebagai pendidik.

Saya pun bertanya kepada mereka, dengan suara yang mungkin terdengar lebih berat dari sebelumnya: “Coba renungkan baik-baik. Tentara, yang peralatan wajibnya adalah senjata, bisa turun ke medan tanpa senjata. Mengapa kita sebagai penyuluh, merasa perlu dikawal tentara bersenjata?”

Ruang itu hening sejenak. Kata-kata melayang-layang, membentuk sebuah pertanyaan yang menggantung di udara. Ini bukan tentang senjata atau tentara semata, tetapi tentang hati, keyakinan, dan keberanian untuk melakukan tugas kita dengan apa yang kita miliki—kata-kata, ilmu, dan hati.

Sebuah pelajaran tersirat dalam kisah ini: dalam dunia yang keras dan penuh ancaman, kita sering mencari perlindungan fisik. Tapi sejatinya, perlindungan terbesar datang dari dalam—dari hati yang berani dan keyakinan yang tak tergoyahkan.

Sebuah renungan, bukan hanya bagi tentara dan penyuluh, tapi untuk kita semua yang hidup di persimpangan dunia yang terus berubah. (*)

Editor: Ruslan Sangadji