PALU, KAIDAH.ID – Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Prof KH Zainal Abidin menjadi khatib pada pelaksanaan Hari Raya Idul Adha 1445 Hijriah/2024 Miladiah di halaman Mapolda Sulawesi Tengah (Sulteng), Senin, 17 Juni 2024.

Dalam khutbahnya, Prof. KH. Zainal Abidin yang juga Ketua Forum Kerukunan Umat Bergama (FKUB) Provinsi Sulteng itu menjelaskan, Idul Adha (Hari Raya Kurban) sejatinya merupakan kesinambungan jalan kesalehan sosial spiritual dari Idul Fitri.

“Jika Idul Fitri merupakan manifestasi kemenangan atas nafsu, maka Idul Adha adalah manifestasi dari ketulusan berkorban, kerendahhatian untuk melakukan refleksi historis dalam mengenang perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim Alaihissalam dan putranya, Ismail Alaihissalam. sekaligus memaknai nilai-nilai spiritual dari manasik haji,” jelasnya.

Guru Besar Filsafat UIN Datokarama Palu itu melanjutkan, Idul Adha dan Idul Fitri itu, bermuara pada nilai-nilai kepedulian, ketakwaan, dan kesalehan sosial berupa ketulusan memaafkan, pentingnya silaturahim, dan etos berbagi (yang disimbolkan dengan zakat fitrah pada Idul Fitri dan daging kurban pada Idul Adha).

“Keduanya berangkat dari panggilan iman berbuah kemanusiaan universal, terutama aktualisasi nilai-nilai hak asasi manusia, seperti dikumandangkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam saat menyampaikan Khutbah Wada Ketika wukuf di Arafah,” paparnya.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى

Artinya: Wahai sekalian umat manusia, ketahuilah sesungguhnya Tuhanmu satu. Nenek moyangmu juga satu. Ketahuilah, tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa selain Arab (Ajam), dan tidak ada kelebihan bangsa lain (Ajam) terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah (putih) terhadap yang berkulit hitam, tidak ada kelebihan yang berkulit hitam dengan yang berkulit merah (putih), kecuali dengan taqwanya”. (HR. Ahmad, 22978).

Haji, tidak hanya sebagai kewajiban dan rukun kelima dalam Rukun Islam, melainkan ia sebagai ibadah sosial. Kerinduan kepada Allah dan Nabi menjadi unsur utama dalam menjalankan ibadah ini. Di sinilah mereka di kumpulkan dari berbagai ras, etnik, suku dan bangsa. Bangsawan dan rakyat jelata memakai pakaian yang sama, dan tidak ada yang istimewa.

“Perbedaan warna kulit tidak ada artinya. Seorang kulit putih dari Benua Eropa akan berdiri sejajar dengan seorang kulit hitam dari Afrika. Mereka pada waktu dan tempat yang sama melakukan ibadah kepada sesembahan yang sama, yaitu Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia,” Prof Zainal Abidin menjelaskan dalam khutbahnya.

Dia melanjutkan, di antara makna sosial haji yang menghubungkan antara manusia dengan manusia lainnya sebagai makhluk sosial adalah: pertama; penyadaran akan adanya kebhinekaan umat Islam.

“Umat Islam saat ini telah tersebar di berbagai negara dan belahan dunia. Mulai dari negara paling Barat hingga paling Timur,” ucapnya.

Tentunya, kata KH Zainal Abdin, di antara umat Islam tersebut, terdapat perbedaan dalam keberagamaannya. Mulai dari mazhab yang paling liberal sampai mazhab yang paling fundamental, aliran kiri maupun kanan, dan lain sebagainya.

Karena berbagai perbedaan tersebut, umat Islam harus sadar, bahwa kebhinekaan umat Islam itu tidak bisa dihindari, karena adanya perbedaan adat-budaya, pemahaman keislaman, tingkat intelektualitas, bahasa, dan lain sebagainya.

“Kebhinekaan umat Islam merupakan sebuah realitas yang niscaya ada,” ujarnya.

Meski demikian, kebhinekaan dan multikulturalitas umat Islam tersebut, disatukan dengan lafaz “Labbaika Allahumma Labbaik…” yang diserukan ketika melaksanakan ibadah haji. Sehingga, makna sosial haji yang kedua adalah persatuan dan persamaan.

Kesadaran akan kebhinekaan umat Islam yang terkandung dalam pelaksanaan ibadah haji, semestinya dapat meningkatkan kesadaran kita akan kebhinekaan umat manusia dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Jika dalam ibadah haji kita mampu melebur dalam ikatan ukhuwah islamiyyah dan mengabaikan segala perbedaan mazhab, ras dan kelas sosial, maka seyogianya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, kita pun mampu melebur dalam ikatan ukhuwah insaniyah dan mengabaikan segala perbedaan termasuk perbedaan agama dan keyakinan.

“Kita sadari bersama, dalam satu dunia kita berbeda bangsa dan Negara. Dalam satu bangsa dan Negara kita berbeda suku bangsa. Dalam satu suku bangsa, kita berbeda keyakinan dan agama. Dalam satu keyakinan dan agama, kita berbeda paham dan aliran. Dalam satu paham dan aliran, kita berbeda pemahaman. Dalam satu pemahaman, kita berbeda pengalaman. Dalam satu pengalaman, kita berbeda penghayatan. Dalam satu penghayatan, kita berbeda keikhlasan. Dalam satu keikhlasan, kita rawat kebhinekaan, kita mantapkan keberagaman.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

خير الناس أ نفعهم للناس

Artinya: Manusia yang terbaik adalah manusia yang paling banyak memberi manfaat pada sesama manusia.

Oleh karena itu, kita perlu meningkatkan keislaman kita dari level ‘beragama’ ke level beriman. Karena ada perbedaan antara orang ‘beragama’ dengan orang beriman, antara lain:

  • Orang “beragama” adalah orang yang percaya bahwa Tuhan itu Ada. Sedangkan orang beriman adalah orang yang percaya bahwa Tuhan itu Hadir. Orang melakukan perbuatan jahat, karena berpikir bahwa Tuhan itu ada, tapi dia tidak merasakan kehadiran-Nya. Orang beriman merasakan kehadiran Tuhan di manapun dia berada.
  • Orang beragama selalu merasa paling suci dan paling benar. Sedangkan orang beriman selalu melihat semua orang adalah setara, semua punya kelebihan dan kekurangan.
  • Orang beragama adalah orang yang mudah melihat perbedaan, dan sensitif dengan perbedaan. Sedangkan, orang beriman adalah orang yang mudah melihat persamaan, mau menerima perbedaan, dan mau mendengarkan orang lain.
  • Orang beragama selalu mementingkan simbol-simbol agama dan ritual agama semata. Sebaliknya, orang beriman adalah orang yang menyembunyikan ibadahnya dari orang lain, dan mempraktikkan imannya di manapun dan kapanpun.
  • Orang beragama adalah orang yang baik dalam urusan ibadah ritual semata, sedangkan orang beriman adalah orang yang baik dalam semua urusan, karena menganggap semua urusan sebagai ibadah.

“Tapi harus dicatat, semua kriteria itu hendaknya tidak digunakan dalam menilai orang lain, tetapi digunakan untuk menilai diri masing-masing: apakah kita termasuk orang beragama atau orang beriman,” tegasnya.

KH Zainal Abidin melanjutkan, sebagai seorang muslim yang telah bersaksi sebagai pengikut Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sudah sepatutnya kita berkiblat kepadanya bagaimana seorang muslim hidup berdampingan dengan kelompok lain, dalam sebuah masyarakat yang plural.

Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah wafat 15 abad yang lalu, namun gaung keberhasilanya sebagai pemimpin, tak pernah berlalu, salah satunya adalah membentuk Madinah menjadi sebuah Negara Multikultur dengan berbagai latar belakang, disatukan melalui sebuah kesepakatan yang dikenal dengan Piagam Madinah, yang oleh para pakar sejarah disebut sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia, yang lebih tua dari Piagam Magna Charta.

Nabi menjadikan Madinah sebagai negara plural, yang menjunjung tinggi prinsip tasamuh (toleransi), serta berhasil menyampaikan misi utamanya, menegakkan kalimat Tauhid tanpa melukai prinsip toleransi.

“Indonesia terdiri dari kumpulan banyak etnis dan suku bangsa, tentu punya budaya berbeda, juga berkembang agama yang berbeda pula, kondisi tersebut sama dengan Madinah di saat Rasulullah pertama kali berhijrah,” jelas Dewan Penasehat KAHMI Sulteng itu.

Di sana hidup beragam kelompok, ada suku Aus dan Khazraj yang selalu terlibat pertikaian, ada pula bangsa Yahudi yang memonopoli ekonomi. Dari segi keyakinan, di tempat ini terdapat kaum musyrik, kaum muslim, Yahudi dan juga Nasrani.

Lantas, apa yang dilakukan oleh Rasulullah dalam menata keragaman dan perbedaan tersebut? Hal yang pertama dilakukan Rasul, beliau meminta setiap kelompok untuk mengorbankan egonya masing-masing, termasuk umat Islam itu sendiri.

“Inilah spirit utama yang tertuang dalam 47 pasal kesepakatan bersama dalam Piagam Madinah,” ucapnya.

Dalam salah satu pasal Piagam Madinah (pasal 37), dinyatakan: Kaum Yahudi dan Kaum Muslim punya kewajiban masing-masing, untuk menanggung biaya yang diperlukan dan saling membela dari serangan musuh.

Selain menegaskan kewajiban menjaga loyalitas, saling menasehati, tolong menolong dan membela orang-orang yang didzalimi.

“Pasal ini juga, menegaskan tanggung jawab individual sebagai prinsip untuk memutus fanatisme kesukuan. Dari suku dan agama apapun, yang benar dibela dan yang salah dihukum,” tegas Prof KH Zainal Abidin.

Ada dua kata kunci yang disebutkan sembilan kali dalam Piagam Madinah, yaitu: al-ma’ruf dan al-Qisth. Al-ma’ruf dapat diartikan sebagai kearifan lokal (local wisdom), yakni sebuah tradisi yang baik yang sudah diterima oleh masyarakat. Sedangkan al-Qisth berarti prinsip-prinsip yang memenuhi rasa keadilan.

Dua kata kunci ini merupakan simpul yang menjadi titik temu antara agama dan tradisi yang apabila dipelihara dengan baik niscaya akan melahirkan masyarakat yang harmonis, meski hidup dalam keragaman agama dan budaya. Kebajikan dan keadilan melewati dan mengatasi sekat-sekat suku dan agama.

Analisis sejarah mengenai fungsi Piagam Madinah dan kebijakan politik Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sangat penting untuk dilakukan dan diupdate kembali. Sebab, hal itu menjadi cermin untuk memahami konsepsi Islam mengenai hubungan agama dan kebijakan sosial, atau dalam konteks modern: agama dan negara bangsa (nation state).

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam datang ke Yastrib (Madinah) tidak bermaksud mendirikan sebuah negara Islam secara simbolis. Karena, masyarakat yang dihadapi oleh Nabi sangat plural: Muslim Muhajirin, Muslim Anshar (Aus & Khazraj), tiga Suku Yahudi (Nadhir, Quraizhah, dan Qainuqa’), serta sebagian kecil Nasrani serta penyembah berhala.

“Pluralitas etnis dan agama, disikapi Nabi bukan dengan memaksakan agama tertentu (Islam) menjadi dasar konstitusi masyarakatnya, melainkan membuat kontrak politik yang mampu mengakomodir semua golongan.

Di kemudian hari, para pakar sejarah mengakui bahwa Madinah yang dipimpin Nabi kala itu, menjadi prototype pertama masyarakat yang berkonstitusi dan diikat dengan perjanjian tertulis.

“Masyarakat itu juga disebut dengan masyarakat mutamaddin atau berperadaban,” ujarnya.

Di akhir khutbahnya, Prof KH Zainal Abidin mengingatkan, Sulawesi Tengah tidak lama lagi akan melaksanakan sebuah agenda penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Pilkada 2024.

Untuk itu, kita dituntut memiliki spirit berkorban. Kesediaan mengorbankan egoisme sektarian, serta kepentingan individu dan kelompok, demi mewujudkan kemaslahatan bersama sebagai warga bangsa.

Adalah sangat manusiawi, bila kita berbeda pilihan, karena mustahil jutaan penduduk daerah ini memiliki pilihan yang sama. Tetapi harus diingat, perbedaan pilihan bukan alasan untuk meruntuhkan persatuan dan persaudaraan.

“Mari kita resapi dan amalkan pesan pengorbanan yang terkandung dalam Idul Kurban ini, Mari kita tanamkan kearifan dalam menyikapi kebhinekaan sebagaimana yang disimbolkan dalam ritual haji. Dan mari kita wujudkan keharmonisan dalam kebhinekaan seperti yang diteladankan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam kehidupan masyarakat Madinah yang multikultural,” ajaknya.

“Semoga ikhtiar kita dalam mewujudkan keharmonisan dalam kebhinekaan, menjadikan Islam dan umatnya di negeri ini benar-benar dapat menunjukkan perannya sebagai pembawa rahmat bagi semesta, rahmatan lil ‘alamin. Sehingga negeri yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini dapat tetap berdiri tegak, kokoh dan bermartabat dalam naungan keridhaan dan ampunan ilahi, Baldatun Thayyibah Wa Rabbun Ghafuur,” tutup Prof. KH Zainal Abidin.

Editor: Ruslan Sangadji (*)