Oleh: Mohammad Tavip
Pakar Hukum Tata Negara Untad Palu

MUNGKIN sidang pembaca (telah) menduga, bahwa tulisan ini, melalui rangkai judul sebagaimana tertera di atas, akan tertuju pada apa yang telah resmi ditetapkan di parlemen, kemudian dipintal oleh KPU dalam tenunan norma yang sesuai harapan publik.

Atau setidaknya-tidaknya karena tulisan ini berdiksi “Nasib Putusan MK”, maka bagaimana nantinya cerita akhir dari semua diskursus ini?.

Sungguh!!!, tulisan ini tidak berada di garis edar itu, dan tidak berhenti dan terhenti di situ.

Meski para pejuang hukum dan demokrasi, pengamat, kampus – rumah orang-orang yang diposisikan sebagai produsen cahaya terang bagi hukum dan demokrasi – bergembira-bahagia menyambut putusan MK, yang dianggap akan menyelamatkan eksistensi dan keberlanjutan bangsa Indonesia di masa depan, dan di masa-masa yang lebih dari yang kita bayangkan saat ini, tapi adakah kita sempat berpikir dalam tanya, what the next?.

Melayani pertanyaan ini, saya ingin kutip bacaan yang pernah tertangkap oleh indra mata dan dicerna oleh akal, lalu tersimpan baik dalam memoriku. Bacaan itu bertuliskan: “Jika rokok dan kopi adalah alat yang dapat membantumu untuk menyelesaikan masalah, maka tunggulah suatu saat bahwa rokok dan kopi itu akan menjadi masalah baru bagimu”.

Kutipan di atas akan saya gunakan, untuk menjawab pertanyaan what the next dari Putusan MK-60/2024, apakah seketika kita akan dapat menikmati, betapa indahnya konstitusi berlenggang di panggung martabat demokrasi dan keadilan?.

Tersadarlah kita, lalu akan menjadi ragu untuk menjawab “ya”, karena beberapa hal:

Pertama, jika kutipan di atas dikontektualisasikan ke dalam Putuaan MK-60/2024 maka, jika Putusan MK menjadi alat yang dapat menyelesaikan masalah demokrasi, keadilan di Pilkada Serentak 2024, maka dari Putusan MK itu pula akan menjadi masalah baru dalam Pilkada Serentak 2024.

Kedua, ba’da putusan MK-60/2024 yang justru seketika terjadi, adalah manuver mendeviasi akan kehadiran indahnya demokrasi dan keadilan.

Momen ini pula, sekaligus menyadarkan kita bahwa “ada pekerjaan yang belum tuntas diselesaikan”, makanya kawal terus!!!

Tapi syukurlah, dinamika pada etape ini menyentuh titik kesetimbangan, Putusan MK dijadikan patokan dalam Pilkada Serentak 2024.

Jangan bergembira dulu!!!.

Meski telah ada offcialy declare, bahwa Pilkada Serentak akan mematuhi Putusan MK-60/2024, tapi bagaimana cara menerangkan bahwa Putusan MK-60/2024, akan menjadi masalah baru bagi pelaksanaan Pemilu Serentak 2024?.

Begini, saat gugatan partai buruh (non seat) di MK, kemudian majelis hakim menjatuhkan vonis berisi dictum, sebagaimana yang telah diketahui oleh hampir sebagian besar rakyat Indonesia, maka berdasar prinsip erga omnes, beberapa partai peserta pemilu yang non seat lainnya, kini terbuka lebar untuk mengusung calon kepala daerah, dengan cara memenuhi syarat kriteria kategoris prosentase perolehan suara sah pada pemilu legislatif lalu.

Nah, mengikuti kultur politik partai saat memasuki area pilkada, yang sebagian besar berskema transaksional “mahar”, ini merupakan hal yang serius dan akan menjadi catatan penting pasca putusan MK itu.

Dimungkinkannya partai non seat mengusung calon kepala daerah, sangat potensial akan mengulangi praktik setoran sebagai mahar dukungan atas pasangan calon kepala/wakil kepala daerah.

Praktik ini dianggap sebagai hal yang lumrah terjadi. Dari sudut pandang itu, okelah kita dapat menerimanya, meski terasa sesak.

Tapi, jika dilihat dari sudut pandang kronologis, bagaimana kedudukan untuk dapat menyalonkan kepala itu diperjuangkan lalu diperoleh, maka praktik setor mahar ini harus dipandang sebagai perilaku tuna etika.

Gugatan ke MK diajukan dengan niat langitan, suci, mulia karena demi melindungi, menghargai harkat dan martabat yang secara fitrawi merupakan sederajat, lalu (majelis hakim) MK melalui kemampuan terbaiknya, mempersembahkan suatu vonis yang dipandang akan menyelamatkan demokrasi dan keadilan dalam bangsa Indonesia.

Kemudian, atas senyawa jejak praktik kultur politik yang tuna etika, menjadi ancaman dan masalah baru yang mungkin akan berulang, sungguh merupakan suatu konfigurasi performa ketatanegaraan yang sangat buruk dan tercela.

Semoga hal yang buruk dan tercela itu tidak berulang, agar Putusan MK-60/2024 tidak kehilangan makna tergerus pragmatisme politik yang tuna etika. (*)