INI TENTANG BUYUNG, PEMILIK NAMA ASLI NASRUL JAMALUDIN – Senin malam, 24 Februari 2025. Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) terasa lebih hening dari biasanya. Di kursi paling depan, seorang pria duduk dengan tenang, matanya lurus menatap deretan hakim konstitusi yang bersiap membacakan putusan.

Namanya Nasrul Jamaludin, atau yang akrab disapa Buyung. Ia satu-satunya kuasa hukum yang masih bertahan dalam perjuangan hukum ini.

Ketukan palu terdengar. Ketua MK Suhartoyo memulai pembacaan amar putusan. Suaranya tegas, tak terbantahkan.

“Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; menyatakan diskualifikasi Amrullah S. Kasim Almahdaly sebagai calon Bupati dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Parigi Moutong Tahun 2024.”

Sejurus kemudian, Buyung menatap ke bawah, menarik napas panjang. Ia tahu, perjuangannya tak sia-sia.

SENDIRI DI MEDAN TEMPUR

Di awal gugatan, Buyung tak sendiri. Ada tiga rekan yang mendampinginya: Sumitro, Randi Chandra Rizky, dan Mohammad Rusli. Mereka tergabung dalam tim hukum yang dibentuk untuk membela kepentingan Nizar Rahmatu dan Ardi, pasangan calon yang merasa hak demokrasinya tercederai.

Buyung, sendiri di MK | Foto: ist

Namun, seiring waktu, satu per satu mundur. Entah karena alasan pribadi atau beban perkara yang begitu besar, pada akhirnya tinggallah Buyung seorang diri. Tapi ia tak gentar. Ia tahu, hukum adalah medan pertempuran yang tidak hanya membutuhkan kecerdasan, tetapi juga keberanian dan ketahanan.

Di kantor Hanss & Associates di Palu, ia menghabiskan malam-malam panjang menyusun argumentasi, menelaah dokumen, menyiapkan strategi. Di hadapannya, berkas-berkas setebal bantal terhampar, penuh coretan dan catatan tangan. Setiap lembar adalah kisah perjuangan, setiap tanda adalah pengingat bahwa keadilan harus diperjuangkan.

PERTEMPURAN DI MAHKAMAH KONSTITUSI

Sidang demi sidang digelar di Mahkamah Konstitusi. Buyung tak hanya harus menghadapi argumen hukum dari pihak tergugat, tetapi juga tekanan dari berbagai pihak yang berkepentingan. Ada saat-saat ketika rasanya ia ingin menyerah, tapi ia tetap bertahan.

Ketika akhirnya putusan dibacakan, semua lelah itu terbayar. MK telah memutuskan: Amrullah S. Kasim Almahdaly didiskualifikasi. Itu berarti satu babak dalam kontestasi politik Parigi Moutong telah berakhir, tetapi kisah perjuangan Buyung tetap hidup. Bukan hanya sebagai cerita tentang kemenangan hukum, tetapi juga tentang tekad seorang lawyer yang bertahan sendiri di medan tempur hingga titik akhir.

Buyung menutup matanya, ia tafakkur memuji kebesaran Allah. Kemudian menutup mapnya, melangkah keluar dari ruang sidang. malam itu, Jakarta terasa sedikit lebih terang baginya.

“Ini bukan perjuangan saya sendiri, tapi ada banyak pihak di sana. Ada Ahli Pak Abdullah, pakar hukum kepemiluan dan mantan Staf Ahli Bawaslu RI yang cerdas dan rasional dalam memberikan keterangan ahli, ada saksi dan teman-teman lainnya,” tandas Nasrul Jamaludin. (*)

Penulis: Ruslan Sangadji