SOU RAJA ATAU BANUA OGE, merupakan salah satu warisan budaya rumah adat Etnis Kaili di Lembah Palu, Sulawesi Tengah. Sou Raja berbentu rumah panggung seluas 368 meter persegi, yang konstruksinya terbuat dari kayu.

Sou Raja disebut juga dengan Banua Oge atau Banua Mbaso, yang didirikan oleh Raja Palu Jodjokodi, pada sekira tahun 1892 sebagai istananya.

Istana ini sebagai tempat tinggal Raja dan keluarganya, juga sebagai pusat pemerintahan. Di tempat itu juga, menjadi tempat musyawarah adat Suku Kaili. Lantaran itu, tidak bisa dihuni oleh sembarang orang.

Banua Oge ini dibangun dengan pengaruh arsitektur Bugis dan Kaili, dengan atap berbentuk seperti piramida segitiga. Dilansir dari Wisata Sulawesi Tengah, atapnya dihiasi dengan papan kayu berukiran (panapiri).

Longki Djanggola, keturunan langsung Raja Palu saat memberikan sambutan pada upacara adat Kaili di Sou Raja Palu. Longki Djanggola juga adalah Ketua DPD Partai Gerindra Sulteng

Juga mahkota (bangko-bangko), yang juga diukir dengan ukiran khas Suku Kaili. Lantainya terbuat dari papan yang dilapisi dengan tikar.

Pada bagian depan, terdapat dua buah tangga kanan dan kiri, yang menghubungkan tanah dengan selasar rumah. Anak tangga rumah Sou Raja, selalu berjumlah ganjil, biasanya berjumlah Sembilan anak tangga.

Fuad Zubaidi dalam jurnal berjudul Arsitektur Kaili Sebagai Proses dan Produk Venakular (2009) menulis, Istana Raja atau Banua Mbaso, dibagi dalam tiga bagian, yaitu Lonta Karavana (ruang depan), Lonta Tatangana (ruang tengah), dan Lonta Rarana (ruang belakang).

Lonta Karavana, dilengkapi oleh selasar atau teras yang disebut dengan gandaria. Lonta Karavana, merupakan ruangan yang digunakan untuk menerima tamu dan upacara adat.

Lonta Karavana atau gandaria inilah, pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Tengah, Ahmad Ali-Abdul Karim Al Jufri melangsungkan prosesi adat, sebelum mendaftar sebagai peserta Pilkada Serentak 2024 di KPU Sulteng.

Sedangkan Lonta Tatangana atau ruang tengah, merupakan ruangan bagi keluarga dan tempat pelaksanaan musyawarah adat, serta kamar tidur raja.

Kemudian Lonta Rarana atau ruang belakang, adalah ruang makan dan kamar putri. Sedangkan dapur dan kamar mandi, terletak terpisah dengan rumah, biasanya di bagian belakang rumah.

MELEWATI PROSES TAREKAT

Membangun Sou Raja juga tidak bisa sembarangan. Untuk memilih kayunya juga tidak asalan. Ada orang yang ditugaskan khusus untuk itu. Untuk menebang kayunya, harus melewati beberapa ketentuan dengan sempurna.

Menebang kayu untuk membangun istana raja, harus diperhitungkan sedemikian rupa, sehingga saat jatuh ke tanah, benar-benar tepat pada arah yang membawa berkah.

Bahkan sebelum menebang kayu, harus dilaksanakan upacara adat di lokasi sekitar pohon pilihan itu. Tujuannya, untuk menghilangkan kemungkinan bahaya lainnya. Kayu yang dipilih biasanya kayu ulin atau kayu kapas.

Sedangkan untuk memiliki lokasi atau tanah tempat Sou Raja akan di bangun, orang yang akan ditugaskan harus menyucikan diri terlebih dahulu, kemudian mencari jawaban melalui proses tarekat (bertahannus) di waktu malam.

Habib Ali Muhammad Al Jufri, Ketua Majelis Pengajian Asybaalulkhairaat bersama Ahmad Ali dan Abdul Karim Al Jufri pada proses adat di Banua Oge atau Istana Raja Palu

Dari mimpi atau gambaran lain yang didapatkan dari yang bersangkutan, akan memberikan jawaban tentang baik dan buruknya tanah atau lokasi.

Ada beberapa hal penting lainnya, harus diperhatikan dalam proses membangun Souraja ini. Syarat pentingnya adalah, selama membangun Sou Raja dan Permaisuri serta seluruh yang ikut menentukan pembangunannya, haruslah dalam keadaan tidak sedang lapar.

Mengenai ke arah mana bangunan Istana Raja menghadap, sangat tergantung dari kemauan raja sendiri, berdasarkan firasatnya.

Calon gubernur dan wakil gubernur Ahmad Ali-Abdul Karim Al Jufri atau BERAMAL itu, sangat paham dengan filosofi Sou Raja atau Banua Oge atau Banua Mbaso itu.

Apalagi di barisan mereka, ada Longki Djanggola, yang merupakan keturunan langsung dari Raja Palu, Jodjokodi. Mantan Gubernur Sulteng dua periode itu, adalah Ketua DPD Gerindra Sulteng, yang menjadi partai pertama yang mengusung Pasangan BERAMAL.

Bagi Ahmad Ali-Abdul Karim Al Jufri, menjadi keniscayaan untuk menghormati dan menghargai adat Kaili. Menurut Pepatah Minang Dima bumi dipijak, di sinan langik dijunjuang – Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. (*)

Editor: Ruslan Sangadji