PALU, KAIDAH.ID – Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (BADKO HMI) Sulawesi Tengah menggelar diskusi bertema “Demokrasi Ekonomi di Era Kepemimpinan Prabowo Subianto: Analisis Kebijakan Pengelolaan Tambang oleh Kampus dan Ormas.” Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian Latihan Kader (LK) III atau Advance Training.
Acara yang berlangsung di Aula BPMP Sulawesi Tengah pada Ahad, 23 Februari 2025 ini dihadiri oleh 24 peserta. Diskusi dipandu oleh Moh. Fadli Tandiyajo sebagai moderator, dengan pemaparan materi utama oleh Salihudin, Tenaga Ahli anggota DPR RI sekaligus mantan Ketua Umum HMI Cabang Palu.
Dalam pemaparannya, Salihudin mengulas berbagai perspektif terkait kebijakan pengelolaan tambang, termasuk wacana keterlibatan kampus dan ormas. Usai sesi pemaparan selama satu jam, peserta diberikan kesempatan untuk menyampaikan tanggapan, yang memunculkan beragam sudut pandang mengenai efektivitas dan dampak kebijakan tersebut.
BERAGAM PANDANGAN PESERTA
Salah satu peserta, Rustam Yuda, menolak keterlibatan kampus dalam pengelolaan tambang, karena dinilai dapat menghilangkan independensi keilmiahan kampus.
“Namun, jika ini tetap dipaksakan, maka perlu ada regulasi yang jelas, seperti Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dengan kampus memiliki kewenangan penuh,” katanya.
Sebaliknya, Hendra menyoroti keputusan pemerintah dan DPR pada 17 Februari 2025, yang membatalkan izin pengelolaan tambang oleh kampus.
“Oleh karena itu, fokus diskusi sebaiknya diarahkan pada hilirisasi Corporate Social Responsibility (CSR) dan penyerapan tenaga kerja lokal guna mengurangi kesenjangan sosial,” jelasnya.
Sendi, kader BADKO HMI Sulteng, mengkritisi kondisi ekonomi di Morowali yang ia anggap mengalami bubble economy – pertumbuhan ekonomi yang tidak sejalan dengan penurunan angka kemiskinan.
“Sebaiknya, tambang dikelola oleh perusahaan daerah, bukan kampus, ormas, atau tenaga kerja asing. Daripada Presiden Prabowo memberikan makan gratis, lebih baik menyediakan pendidikan gratis agar melahirkan ahli tambang lokal,”* tegasnya.
Menanggapi pendapat Hendra, Fitrah mengungkapkan skeptisismenya terhadap realisasi CSR.
“Selain kualitas SDM yang masih rendah, perusahaan tambang asing juga kurang memberi ruang bagi tenaga kerja lokal. Namun, selama masyarakat lokal diberi kesempatan kerja dan peningkatan kompetensi, pengelolaan tambang oleh asing bukan masalah besar,” katanya.
Sementara itu, Syahrul menyoroti keterbatasan SDM dan teknologi Indonesia dalam mengelola tambang.
“Di sinilah peran kader HMI menjadi krusial. Dengan nilai-nilai NDP, mereka dapat menjadi landasan etis dalam pengelolaan tambang,”* ujarnya.
Pendapat berbeda disampaikan Ari Usama, yang beranggapan bahwa keterlibatan kampus dan ormas dalam pengelolaan tambang sah-sah saja.
“Realitanya, banyak kampus masih kekurangan sumber daya. Pengelolaan tambang bisa menjadi solusi untuk mendukung operasional kampus,” ujarnya.
Sementara Albadani menekankan pentingnya pengembalian kewenangan, pengelolaan tambang kepada pemerintah daerah.
“Dengan demikian, masyarakat lokal dapat merasakan manfaat ekonomi secara langsung,” tegasnya.
Mukriman berpandangan, siapapun pengelolanya – asing, ormas, atau kampus—persoalan tambang tetap akan muncul jika tidak ada penertiban terhadap mafia pertambangan.
“Pemerintah, khususnya Menteri ESDM, harus bertindak tegas memberantas praktik-praktik ilegal ini,” ujarnya.
Sebagai penutup sesi tanggapan, Akbar menegaskan ormas tidak perlu dilibatkan dalam pengelolaan tambang.
“HMI sebaiknya berperan dalam kajian akademis yang dapat menjadi dasar bagi pembukaan tambang dan solusi atas kesenjangan sosial di sektor ini,” katanya.
Diskusi di forum LK III yang berlangsung hingga pukul 15.10 WITA ini, membuka wawasan peserta mengenai berbagai tantangan dan peluang dalam pengelolaan tambang di era kepemimpinan Prabowo Subianto. Diharapkan, hasil diskusi ini dapat menjadi masukan konstruktif bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait.
Editor: Ruslan Sangadji
Tinggalkan Balasan