Bahlil, Disertasi dan Hilirisasi – Saat berbicara pada acara buka puasa dan tarawih bersama MN KAHMI di kediamannya di Jalan Denpasar Raya, Jakarta pada Rabu, 12 Maret 2025, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjelaskan tentang hilirisasi yang menjadi isi dari disertasinya dan menjadi polemik, serta kepemimpinanya di Partai Golkar.
Tapi pada artikel ini, kaidah.id tidak menulis mengenai Golkar, dan tulisan ini dibuat dalam bentuk kata langsung.
Berikut isi pembicaraan lengkap Bahlil Lahadalia dalam empat halaman:
Baik! Saya memulai dengan menjelaskan tentang ekonomi bangsa. Pertumbuhan ekonomi nasional sejak tahun 2015-2024 selalu di atas 5 persen. Dan dalam teori konsep ekonomi Prof Erani Yustika, rumus pertumbuhan ekonomi itu adalah konsumsi plus investasi, spending pemerintah dan ekspor impor.
Dan konsumsi kita itu 53 persen dari total konstribusi pertumbuhan. Investasi sekitar 30 persen, spending pemerintah hanya 16 persen. Jadi total kue ekonomi kita, pemerintah itu tidak lebih 16 persen, sisanya ekspor impor.
Nah kemudian, kita berbicara tentang kue ekonomi dari 53 persen. Kalau kita berbicara tentang konsumsi, itu bicara tentang daya beli. Dan kalau kita bicara tentang daya beli itu bicara tentang kepastian pendapatan. Dan kalau kita bicara tentang kepastian pendapatan, itu bicara tentang lapangan pekerjaan.
Kalau kita bicara tentang lapangan pekerjaan, tidak mungkin pemerintah menyiapkan lapangan pekerjaan lewat penerimaan PNS, TNI dan Polri. Pasti swasta, dan itu adalah investasi. Dan di dalam investasi itu adalah hilirisasi dan industrialisasi.
HILIRISASI MENCONTOH CHINA
Nah, sekarang saya akan berbicara pada konteks hilirisasi. Seperti yang saya sampaikan tadi, kontribusi pertumbuhan kita ang 30 persen itu adalah investasi. Kebetulan saya juga pernah menjadi Menteri investasi.
Saya akan menceritakan pengalaman saat itu. Saya jujur mengatakan, bahwa konsep hilirisasi bangsa kita ini cenderung tiba saat tiba akal, bukan konsep by desain. Atas dasar itu, kenapa saya ngomong, karena puncak hilirisasi itu, ketika saya diangkat oleh Presiden Jokowi untuk memimpin Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan meminta kepada saya agar bagaimana caranya menyetop ekspor ore nikel.
Ini cikal bakalnya sebenarnya. Tidak banyak yang mengerti sejarah ini. Kenapa itu dilakukan?, karena secara jujur kita katakan bahwa, kembali pada teori yang disampaikan Fahry Ali soal moda produksi kolonialisme, bahwa Eropa itu sudah candu terhadap negara kita. Dan mereka tidak ingin kita sebagai negara berkembang ini maju.
Dan memang dalam teori ekonomi, termasuk pakar ekonomi internasional dari Harvard University yang pernah saya wawancarai, yaitu Dani Rodrik. Dia itu cenderung berpihak pada negara-negara berkembang, yang memiliki sumber daya alam untuk menjadi negara maju. Dia mengatakan begini: Tidak pernah ada sebuah negara berkembang yang mempunyai sumber daya alam itu bisa maju, tanpa ada hilirisasi dan industrialisasi.
Maka tidak semua negara yang menciptakan nilai tambah itu tanpa hilirisasi. Contohnya Korea, yang bukan negara dengan hilirisasi, tapi adalah negara industrialisasi. Karena defenisi hilirasi itu adalah sebuah negara yang mampu menciptakan nilai tambah, dengan proses bahan baku yang ada di negara itu. Instrumen hilirisasi adalah industrialisasi.
Nggak akan mungkin menciptakan nilai tambah, jika tanpa industri, maka di situ dibutuhkan sains dan teknologi.
Nah, coba kita lihat perbedaan antara Jepang, Korea dan China. Kalau Korea itu negara industrialisasi, dia menguasai teknologi, kapital dan pasar luar negerinya. Makanya, Korea itu merupakan bagian dari sekutu Amerika dalam ekonomi.
Sedangkan Jepang itu blended (campuran), yaitu menguasai teknologi, pasar dan kapital tapi sedikit punya bahan baku. Kemudian China, pada tahun 1980-an, negara itu betul-betul melakukan hilirisasi secara kaffah (komprehensif).
Contohnya Tanah Jarang, Jepang itu betul-betul melakukan sebuah perubahan secara secara fundamental, melakukan revolusi besar-besaran. China waktu itu tertutup, tapi membuka diri untuk masuknya FDI (Foreign Direct Investment) adalah investasi langsung dari luar negeri ke dalam suatu negara. FDI merupakan salah satu faktor penting yang mendorong pertumbuhan ekonomi global, khususnya di negara berkembang).
Silakan tekonologinya masuk, pasar dia (Jepang) buka tapi dia bilang: You olah ini dan tekonologinya you punya, tapi TKDN 88 persen. (TKDN – Tingkat Komponen Dalam Negeri) adalah persentase kandungan produk lokal (bahan baku, tenaga kerja, dan sebagainya) dalam suatu barang atau jasa, yang digunakan sebagai standar untuk mendorong penggunaan produk dalam negeri dan memberdayakan industri nasional.
Ini yang untuk mencreate industri dalam negeri mereka. Dan dia harus berkolaborasi dengan pengusaha nasional China. Dan kemudian di negara bagian china yang mempunyai potensi Tanah Jarang itu tumbuh pesat ekonominya.
Pertanyaan berikutnya adalah, konsep hilirasi Indonesia, yang cocok dengan tiga negara itu yang mana?. Maka dalam disertasi, saya tulis bahwa model yang cocok untuk hilirisasi kita adalah China.
Perbedaan China dan Indonesia. Kalau China, sebelum melakukan hilirisasi, dia membentuk kelembagaan dulu, dia by desain. Indonesia tidak by desain karena tuntutan. Maka kita lihat 2017-2018, ekspor ore nikel, hanya 3,3 miliar US Dolar Dolar.
STOP EKSPOR ORE NIKEL, HASILKAN 40 MILIAR US DOLAR
Maka Waktu itu, Presiden Jokowi meminta kepada saya, akhirnya saya stop ekspor ore nikel, kemudian saya buka pasar. Saya persilakan pengusah-pengusaha mereka masuk investasi ke Indonesia. Silakan you investasi di Indonesia, saya akan kasih tax holiday dan izin-izin.
Apa yang terjadi? akhirnya hasil ekspor kita tahun 2019-2024 dari ore nikel hasil hilrisasi, sudah mencapai 40 miliar US Dolar, dan banyak pertumbuhan kawasan baru yang muncul.
Tapi saya harus akui, bahwa hilirisasi kita belum adil. Dalam temuan saya dalam disertasi itu, hilirisasi hanya dinikmati oleh pemerintah pusat dan investor, sedangkan daerah ditinggalkan. Daerah hanya mendapatkan bencana. Maka perlu ada sebuah formulasi untuk mengatasi itu.
Sekarang, Indonesia menjadi eksportir baja terbesar di dunia. Bahkan China pernah membanned dan menurunkan pajak progresif ekspor kita. Kalau china mempenetrasi kita dengan pakaian jadi dan barang-barang UKM, sekarang kita mempenetrasi mereka dengan baja.
Dan sekarang kita dorong bagaimana membangun hilirasi itu, tidak hanya nikel saja. Sejak 2021 saya sudah punya mimpi bahwa hilirasi itu tidak boleh hanya setop di nikel, tapi harus semuanya. Maka saya buat masterplan untuk 26 komoditas. Hilirisasi di sektor pertambangan, mineral batubara, oil and gas, pertanian, perikanan kelautan dan kehutanan.
Dan BKPM ketika menjadi Kementerian Investasi, saya sudah buat deputi hilirisasi. tujuannya adalah, memang harus ada lembaga yang mengelola hilirisasi, agar tidak menjadi konsep tiba saat tiba akal.
Kemudian Waktu berjalan dan saya berpikir, bahwa sekarang ekspor kita bagus, penciptaan lapangan kerja yang berkualitas di sektor hilirisasi berjalan baik.
Tapi yang menjadi kegenitan saya adalah, apakah yang saya lakukan itu salah?. Itu gejolak. Ah, jangan-jangan saya salah secara akademik. Atas dasar itu, maka saya berkonsultasi dengan Prof Erani: Apakah yang saya buat ini benar nggak. Karena banyak aturan yang saya terobos.
Inilah yang melatar belakangi saya kuliah S-3, untuk menguji apa yang saya lakukan ini benar atau tidak secara akademik. Saya sudah lakukan dan teorinya belum ada, tapi jadi. Saya sudah eksekusi. Makanya saya uji secara akademis.
Makanya seperti Kawasan industri di Batang. Saya temukan lokasinya tanggal 4 Juni 2024, dan presiden resmikan tanggal 14 Juli 2024 tanpa feasibility studi. Dua tahun kemudian, Kawasan itu menjadi kota yang luar biasa. Itu tanpa teorinya. Makanya saya harus uji, dan itulah saya kuliah.
KELEMBAGAAN, TATA KELOLA DAN PEMBIAYAAN
Saya lihat kelembagaan yang tidak jelas, tata Kelola yang tidak jelas. maka saya pernah dikritik oleh Pak Jusuf Kalla dan Faisal Basri (alm): Bahlil, hilirisasi itu bagus, tapi hanya dirasakan oleh asing, bukan oleh orang Indonesia. Saya bilang, ok kritik mereka bagus.
Kemudian saya kuliah dan saya berbuat. Maka saya buat judul disertasi: Kebijakan kelembagaan dan tata Kelola hilirisasi nikel yang berkeadilan dan berkelanjutan. Saya coba buat disertasi ini, supaya untuk saya tau, apakah yang saya lakukan itu sudah benar atau tidak.
Dan tidak akan mungkin negara ini akan maju kalau dengan struktur ekonomi kita yang konsumtif. Maka kita harus dorong ke industri.
Nah, kenapa saya buat disertasi saya seperti itu. Pertama; para pakar ekonomi dunia mengatakan, tidak ada sebuah negara di dunia yang melakukan hilirisasi tanpa ada keterlibatan negara.
Dan saya meyakini bahwa negara belum hadir secara komprehensif dan secara by desain di saat lampau dalam rangka implementasi hilirisasi. Makanya konsepnya tiba saat tiba akal dan tidak ada yang menjadi road map secara benar. Alhamdulillah sekarang kita bisa buat road map itu.
Kedua; menurut profesor Ha-Joon Chang, dari Korea, selain institusinya (kalau China di Bawah perdana Menteri, kalau di Korea di Bawah Bappenas mereka). Maka untuk hilirisasi itu perlu ada orchestra untuk membuat skala prioritas, makanya kita harus buat tata kelola.
Nah, institusi atau lembaga sudah ada, tata Kelola sudah ada, maka perlu ada pembiayaan secara mandiri dalam negeri, bank maupun non bank.
Maka isi disertasi saya itu saya gunakan sebagai referensi untuk membuat kebijakan negara terkait hilirisasi. Contoh kelembagaan, saya tempatkan hilirisasi itu dari kementerian investasi dan hilirisasi, saya ditanya oleh beberapa tokoh, kenapa bukan di ESDM atau BUMN.
Kemudian saya katakan begini, kalau di ESDM itu ada hilirasi di sektor pertanian, sektor kehutanan, pertanian, nanti ada ego sektoral. Maka saya tempatkan di Kementerian Investasi dan Hiliriasi itu. Karena semua izinnya, ujungnya itu adalah OSS yang ada di kementerian itu.
Kemudian saya sampaikan ke Presiden bahwa hilrisasi sudah bagus, tapi perlu ada tata Kelola. Maka dibentuklah Satgas Hilirisasi, karena ada 618 miliar US Dolar dari total 20 tahun investasi di sektor hilirisasi, 91 persennya adalah di sektor ESDM. Dan akhirnya kebetulan saya di situ dan menjadi ketua satgas.
Jadi, tata kelolanya di Satgas dan anggota Satgasnya adalah semua kementerian teknis, termasuk Menteri keuangan, Menteri perindustrian dan Menteri BUMN. Orang berpikir kaya struktur miskin fungsi atau miskin struktur kaya fungsi. Tapi saya berpikir kaya struktur kaya fungsi. Dalam pendekatan manajemen kan begitu.
Dan itu akhirnya disetujui, bahkan kewenangan Satgas itu sebagai panglima yang mengeksekusi kebijakan pemerintah dalam konteks hilirisasi dan saya ketuanya.
Nah, sekarang kelembagaan sudah ada, tata Kelola sudah ada. Maka dalam disertasi saya itu, saya ingin melakukan evaluasi terhadap kebijakan negara pada tahun sebelumnya, dengan menggunakan teori Thomas R. Dye, tentang reformulasi kebijakan.
Maka dalam evaluasi saya katakan, sampai ayam tumbuh gigi pun, kalau hiliriasi ini dibiayai oleh asing, maka 60 persen nilai tambahnya akan kembali ke luar, karena dia harus mengembalikan pokok tanpa bunga dari pinjaman, karena dia melakukan investasi.
Maka saya sampaikan ke Presiden: Pak kita harus dorong seluruh pembiayan hilirisasi oleh perbankan nasional atau lembaga keuangan. Alhamdulillah, ternyata Presiden sudah punya pikiran sudah lebih jauh dari itu, untuk mendirikan Danantara. Alhamdulillah.
UBAH UU MINERBA UNTUK KEADILAN
Nah, sekarang kelembagaan sudah, tata Kelola sudah, lembaga keuangan sudah. Maka saya katakan, perlu adil, dan keberlanjutan SDGs harus masuk di situ. Maka setelah saya lihat UU Minerba, ternyata menurut saya UU itu tidak sejalan dengan Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
Padahal Sementara simbol negara adalah Presiden, tapi Presiden tidak bisa mengeksekusi karena menurut UU harus melalui tender. Itukan mengamputasi kewenangan presiden. Dan ini sebagai bentuk perlawanan saya terhadap orang-orang yang itu saja, itu saja. Maka kita ubah UU Minerba. Sekarang UMKM, Koperasi, termasuk organsasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan harus mendapat prioritas tanpa tender. Dan mengubah UU itu butuh keberanian, tidak main-main.
Inilah kesimpulan disertasi saya. Bahwa kelembagaan sudah ada yaitu kementerian Investasi dan Hilirasi, tata Kelola sudah ada Satgas Hilirisasi, Lembaga pembiayaan alhamdulillah semua perbankan membiayai hilirisasi, keadilan kita ubah Undang-Undang Minerba.
Maka pertanyaan saya adalah, di manakah yang saya tidak pahami dari disertasi saya itu. Mana yang mau direvisi. Tapi is ok, mungkin yang dimaksud dengan revisi itu adalah, ada yang belum adil dan belum saya eksekusi, yaitu dana bagi hasil dari dana hilirisasi.
Dalam temuan disertasi saya, saya temukan bahwa ada ketimpangan dan ketidakdilan secara substantif dana bagi hasil pusat dan daerah. Daerah itu cuma dapat 15 persen, dan itu tidak fair. Seharusnya 55:45 maksudnya 55 persen pusat dan 45 persen daerah yang dibagi untuk kabupaten 30 persen dan 15 persen untuk provinsi).
Mungkin inilah yang dimaksud dengan revisi itu. Tapi ini harus ubah lagi UU Perpajakan dan saya sebagai Ketum Golkar, akan saya perjuangkan ini. Kalau ini mampu kita Kelola dengan baik, maka hilirasi itu menjadi satu sumber pertumbuhan yang berkualitas sehingga kita bisa keluar dari jebakan kutukan negara sumber daya alam.
AMBIL ALIH PIMPINAN SIDANG DI FORUM G-20
Saya mau cerita, waktu di Forum G-20, Ketika saya usulkan isu hilirasi kita diintersep oleh negara-negara G-7. Dan saya fight. Di situ Bang Zulkifli Hasan kaget, saat terjadi lobi antar pejabat eselon 1 dan menteri ekonomi dan invetasi di forum itu terjadi deadlock, saya ambil alih pimpinan sidang.
Karena ada perintah Presiden Jokowi waktu itu adalah, bagaimana caranya agar tetap hilirisasi masuk dalam bagian kesepakatan G-20.
Karena kita sudah dibawa ke WTO. Pelarangan ekspor nikel kita dibawa ke WTO. Saat saya pimpin sidang, saya katakan kepada mereka: Tuan-tuan, kami negara-negara berkembang belajar teori ekonomi dan pengalaman ekonomi dari negara tuan-tuan. Bagaimana Inggris, bagaimana Amerika, bagaimana China. Dan sekarang negara Anda sudah mampu menapaki satu anak tangga ke anak tangga yang lain dan kalian sekarang sudah menjadi negara maju.
Kita bergabung dalam negara G-20, karena kita menguasai perdagangan 70 persen dan GDP dulu yang 80 persen, dan kita punya kesepahaman untuk maju bersama-sama. Maka saya tanya, jika masih ada satu negara yang belum setuju memasukan hilirisasi, sebagai satu komunike bersama para kepala negara, maka pertanyaan saya cuma satu: Tunjukan jalan mana yang harus kami ambil, agar negara kami bisa sama seperti negara kalian.
Dan saya tunjukan kepada tuan-tuan, bahwa kita di sini semua harus berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dalam satu komunitas negara G-20. begitu saya tanya, masih ada negara yang belum setuju, tapi tidak ada yang angkat tangan. Saya tanya sekali lagi, masih ada negara yang belum setuju, tapi tidak ada yang angkat tangan.
Karena tuan-tuan sudah setuju, maka seizin tuan-tuan, dan dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, saya nyatakan bahwa komunike bersama untuk hilirasi menjadi kesepakatan bersama. Langsung saya ketuk palu sidang. Setelah itu, mereka mengerubuti saya dan memprotes saya.
Maka jangan pernah berpikir bahwa negara-negara G-7 itu akan rela melihat negara-negara berkembang yang kaya sumber daya alam itu maju melalui hilirisasi.
Jadi menurut saya, hari ini, hilirisasi menjadi satu instrumen penting untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang berkualitas, untuk menghambat deindustrialisasi dan meningkatkan kompetitifitas kita untuk dan melawan negara. Kalau tidak, kita akan Kembali ke zaman VOC. itu kira-kira bagian dari intisari disertasi saya. (*)
Penulis: Ruslan Sangadji

Tinggalkan Balasan