Pahlawan di sini bukan mitos seperti superhero karya Marvel, tetapi ia adalah realitas yang universal dan humanis. Ia tak terjebak pada ruang dan waktu yang sarat dengan kepentingan.

Narsisme yang kedua berkaitan dengan kata “monyet”. Fuad mengutip surah Al-Baqarah ayat 65 sebagai dasar. Allah SWT berfirman: “Sungguh kamu benar-benar telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari sabat, lalu Kami katakan kepada mereka – jadilah kamu monyet yang hina”. Di video klarifikasi, Fuad menyebut cerita tentang kaum Yahudi yang dikutuk menjadi monyet, karena menentang perintah Allah. Sesuatu yang sama sekali tak relevan jika dikaitkan dengan kiprah Guru Tua.

Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di mesjid Nabawi menyebut dua makna penting dari surah ini. Yang pertama; i’tadaw fi sabti – kalian melampaui batas dari aturan yang sudah ditetapkan. Diharamkan mencari ikan pada hari Sabtu. Namun orang-orang Yahudi melakukan rekayasa sehingga ikan-ikan itu tetap masuk ke dalam kolam mereka, sebelum hari yang dilarang – karena hari itu dkhususkan untuk beribadah.

Makna yang kedua; konsekwensi dari yang melanggar janji itu adalah kutukan menjadi qiradatan. Bersumber dari al qiradah yang merupakan bentuk jamak dari qirdun atau monyet. Qiradatan berkelindan dengan khaasyi’in yang bisa dipahami sebagai metafora dari mereka yang menjauh dari kebaikan dan menjadi orang-orang yang dihinakan. Al-Jazairi menegasi status “haram” untuk menghalalkan sesuatu yang telah dilarang.

Dalam konteks ini, di mana relevansi surat Al-Baqarah 65 tentang pelanggaran kaum Yahudi hingga dihukum Allah melalui kuunu yang tak terbantahkan itu dengan kiprah Guru Tua dalam dimensi dakwah dan pencerahan ummat. Tak ada ketentuan tentang “sesuatu yang haram” yang dilakukan Guru Tua sebagaimana tafsir Al-Jazairi.

Narsisme yang ketiga berkaitan dengan tudingan sangat kasar, bahwa ulama yang dihormati ini adalah seorang “pengkhianat”. Berkhianat kepada siapa?. Saya kesulitan menemukan alasan berbasis akal sehat dalam tudingan ini. Saya menduga, Fuad adalah proxy yang dipelihara “kekuasaan” untuk memecah belah persatuan ummat.

Ada kekuatan gelap yang menyerang keberadaan para “Habaib” karena dari jejak digitalnya – Ia sebelumnya juga menyerang Habib Rizieq dengan tudingan a-nasionalis. Kita patut waspada terhadap gerakan seperti ini, karena bertaut erat dengan ancaman terhadap masa depan bangsa.

Dalam bukunya Architects of Deception – Secret History of Freemasonry, penulis Estonia, Juri Lina memberi pengingat penting terkait keberlangsungan sebuah bangsa.

Ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri. Pertama; kaburkan sejarahnya. Kemudian; hancurkan bukti-bukti sejarahnya sehingga tak bisa diteliti dan dibuktikan kebenarannya dan terakhir; putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan leluhurnya itu bodoh dan primitif. Kita jangan sampai tersesat secara sadar di jalan ini.

CYBER HATE

Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, apa yang dilakukan Fuad adalah bagian dari cyber hate – ujaran kebencian dan perudungan di dunia maya, yang dilakukan dengan memanfaatkan algoritma media sosial dan platform daring lainnya. Cyber hate terhadap Guru Tua adalah bagian dari kegoblokan unfaedah yang dinarasikan untuk kepentingan algoritma.

Di masa ini, purbasangka, ujaran kebencian, hoaks dan gestur kosong – meminjam Zizek yang menyebutnya sebagai sesuatu yang dibuat untuk ditolak – adalah jualan digital untuk menaikkan viralitas. Tak ada kebenaran di situ.

Saya sungguh berharap, negara bersikap untuk menyelesaikan perkara ini dengan terang benderang. Ada keadilan dan rasa percaya yang perlu ditegakkan. Selama ini, kita selalu menaruh percaya, karena negara menjanjikan apa yang kita sukai. Berkhidmat dan mengikutinya meski kadang cemas dan kecewa. Tapi benarkah tak ada keraguan, saat yang kecewa itu kerap timbul tenggelam dalam kehidupan bernegara?.

Filsuf Britania, Bertrand Russell memberi sebuah perlawanan terhadap kecenderungan manusiawi untuk mempercayai apa yang disukai. “Tak ada kepercayaan kita yang sungguh-sungguh tepat, semuanya punya setidaknya secercah ketidakjelasan dan kekeliruan”. Russell menyebut pendekatannya dengan “kehendak untuk ragu”. Jangan sampai “kehendak untuk ragu” itu menjadi sesuatu yang sublim. (*)

Editor: Ruslan Sangadji