NAMA GURU TUA, atau Sayyid Idrus bin Salim Aljufri, bukanlah sosok asing bagi masyarakat Indonesia Timur. Dialah pendiri Alkhairaat, lembaga pendidikan Islam terbesar di kawasan ini, yang hingga kini telah menebar cahaya ilmu dari Palu hingga Papua, bahkan sampai Jakarta, Surabaya dan Malaysia.

Bagi para santri dan alumni Alkhairaat yang dikenal sebagai Abnaulkhairaat, Guru Tua bukan sekadar tokoh pendidikan. Ia adalah pahlawan besar, ulama yang membangun peradaban lewat ilmu, akhlak, dan dakwah.

Lahir di Tarim, Hadramaut, Yaman Selatan, pada 14 Sya’ban 1319 H atau 18 Maret 1891 M, Guru Tua tumbuh dalam keluarga terhormat: ayahnya seorang mufti, ibunya keturunan bangsawan dari Wajo, Sulawesi Selatan.

Sejak kecil, Guru Tua telah menunjukkan kecintaan mendalam terhadap ilmu. Ia menghafal Al Quran dan mendalami berbagai cabang ilmu agama, termasuk fiqih. Namun takdir membawanya jauh dari tanah kelahiran. Karena pergolakan politik di Yaman, ia harus meninggalkan negeri itu. Inggris yang saat itu menjajah, membuangnya. Pilihannya jatuh ke Batavia — sekarang Jakarta.

DARI BATAVIA KE TIMUR INDONESIA

Di Batavia, aktivitas dakwahnya dimulai. Ia berpindah dari satu mimbar ke mimbar lain, menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat. Tahun 1926 menjadi masa penuh aktivitas. Di sanalah pula ia menjalin persahabatan dengan pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari. Keduanya kerap berdiskusi tentang peningkatan kualitas umat melalui jalur pendidikan.

Guru Tua lalu melanjutkan dakwahnya ke Solo, Jawa Tengah. Di sana, ia dipercaya memimpin madrasah Al Rabithah Al Alawiyah, yang kelak menjadi cikal bakal Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro.

Namun, melihat di Pulau Jawa sudah banyak ulama besar, Guru Tua memutuskan untuk berlayar ke Timur, kawasan yang menurutnya masih sangat membutuhkan cahaya ilmu. Tahun 1929, ia berlabuh di Ternate, Maluku Utara, kemudian ke Sulawesi Utara lalu menuju Donggala, Sulawesi Tengah — tempat di mana perjalanannya mencapai puncaknya.

Donggala saat itu masih kental dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Dengan pendekatan yang lembut dan cerdas, Guru Tua mendekati tokoh-tokoh masyarakat dan akhirnya menikah dengan perempuan keturunan bangsawan setempat. Di situlah, niatnya mendirikan lembaga pendidikan Islam mendapat sambutan hangat.

LAHIRNYA ALKHAIRAAT, CAHAYA DARI TIMUR

Pada 14 Muharram 1349 H atau 1930 M, lahirlah madrasah pertama bernama Alkhairaat. Sejak saat itu, nama Alkhairaat menjelma menjadi simbol kebangkitan Islam di Timur Indonesia. Dari satu madrasah itu, ribuan sekolah dan pesantren Alkhairaat berdiri di berbagai penjuru negeri, mencetak ribuan ulama, guru, dan pemimpin umat dan pemimpin daerah hingga ada yang menjadi pejabat negara.

Saiyid Saggaf bin Muhammad Aljufri, cucu Guru Tua yang juga Ketua Utama Alkhairaat Ketika itu, menuturkan, bagi Guru Tua, murid-muridnya adalah karya utama.

“Suatu ketika beliau ditanya soal karyanya dalam bentuk buku, beliau menjawab, ‘Karyaku adalah Alkhairaat dan murid-muridku yang mengajarkan agama kepada umat’,” kenang Saiyid Saggaf ketika itu.

Guru Tua wafat pada hari Senin, 12 Syawal 1389 H atau 22 Desember 1969. Namun warisan ilmunya terus hidup dalam lembaga yang didirikan dan santri-santri yang terus menyebarkan cahaya di tengah masyarakat.

PAHLAWAN DARI TIMUR

Silsilah Guru Tua menelusuri keturunan mulia, dari Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Tapi bukan sekadar nasab yang membuatnya mulia — melainkan dedikasinya membangun pendidikan dan menyelamatkan generasi demi generasi dari kegelapan ilmu.

Kini, ketika namanya diajukan sebagai Pahlawan Nasional, suara dari Timur menggema: “Sudah seharusnya negara mengakui jasa besar Guru Tua.” Karena jika pendidikan adalah jalan membangun bangsa, maka Guru Tua telah menjadi pelopor utama jalan itu, terutama bagi anak-anak bangsa di wilayah timur Indonesia. (*)

Penulis: Ruslan Sangadji