MOROWALI, KAIDAH.ID – Perusahaan smelter raksasa PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP), bagian dari konsorsium Baowu-Tsinghan Industrial Indonesia Group (BTIIG), kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, suara protes datang dari Forum Ambunu Bersatu (Forbes), yang menyoroti dampak serius keberadaan industri tersebut terhadap masyarakat dan lingkungan di desa-desa lingkar industri.

Koordinator Lapangan Forbes, Ramadan Annas, menegaskan, kehadiran PT IHIP bukannya menghadirkan kesejahteraan merata, justru menimbulkan ketimpangan, perampasan ruang hidup, dan krisis lingkungan yang berkepanjangan.

“Kami tidak menolak investasi. Tapi yang terjadi saat ini, masyarakat lokal dipaksa mengalah tanpa keadilan. Lahan mereka dibeli murah, sawah jadi smelter, dan nelayan harus melaut lebih jauh karena ekosistem pesisir rusak,” ujar Ramadan Annas dalam pernyataan pers yang diterima kaidah.id, Jumat, 11 April 2025 malam.

Menurut dia, banyak petani di Desa Ambunu, Tondo, dan Topogaro kehilangan lahan, karena proses pembebasan tanah yang tidak transparan dan tidak adil. Mereka terpaksa beralih profesi menjadi buruh kasar di dalam kawasan industri dengan upah rendah.

“Perusahaan tidak hanya menghilangkan lahan produktif, tapi juga menghapus identitas ekonomi warga sebagai petani dan nelayan,” kata Ramadan.

Beberapa pekerja, lanjutnya, bahkan mengalami pemecatan sepihak karena memiliki hubungan kekerabatan dengan warga yang masih menolak pembebasan lahan.

“Ini bentuk intimidasi sistematis terhadap masyarakat yang memperjuangkan haknya,” tambahnya.

Forbes juga menyoroti degradasi lingkungan yang semakin parah akibat operasi industri. Sungai Ambunu, yang dahulu menjadi sumber penghidupan warga, kini menyempit dan tercemar. Pembuangan limbah PLTU ke muara sungai, telah memicu akumulasi logam berat seperti kromium heksavalen, yang berbahaya bagi ekosistem laut dan kesehatan manusia.

“Banyak terumbu karang mati, budidaya rumput laut gagal panen, dan kualitas udara sangat buruk. Warga mengeluh ISPA, anak-anak sakit, tapi siapa yang bertanggung jawab?” tegas Ramadan.

Data dari Puskesmas Wosu menunjukkan lonjakan kasus ISPA sejak PT IHIP beroperasi: 735 kasus pada 2021, meningkat jadi 1.200 di 2022, dan mencapai 1.148 kasus pada 2023. Jalanan di sekitar kawasan industri kini dipenuhi debu, menyebabkan warga harus menggunakan masker setiap hari.

SEMBILAN TUNTUTAN WARGA

Dalam pernyataannya, Forbes yang dipimpin Ramadan Annas menyampaikan sembilan tuntutan kepada manajemen BTIIG/PT IHIP:

  1. Tanggung jawab penuh atas pencemaran lingkungan dan jaminan pengobatan ISPA bagi warga.
  2. Kompensasi debu dan relokasi permukiman di zona merah industri.
  3. Kompensasi penggunaan jalan tani Ambunu dan realisasi tukar guling lahan desa.
  4. Transparansi pengelolaan dana CSR.
  5. Pemberdayaan tenaga kerja dan pengusaha lokal dalam posisi strategis dan sektor pendukung.
  6. Penghapusan kebijakan wajib tinggal di mes karyawan untuk menghidupkan ekonomi warga, seperti usaha kos-kosan.
  7. Penyelesaian pembayaran lahan dan pajak sesuai kesepakatan.
  8. Realisasi janji air bersih, listrik murah, serta penanganan sampah dan limbah.
  9. Ganti rugi kepada petani rumput laut atas kerugian akibat reklamasi pantai, serta restrukturisasi manajemen HRD dan eksternal perusahaan yang dianggap tidak berpihak pada lokal.

Ramadan Annas juga mengajak pemerintah daerah dan pusat, agar tidak tutup mata terhadap penderitaan warga lingkar industri.

“Jangan hanya memihak investor. Negara harus hadir untuk rakyat. Bila tuntutan ini tak direspon, kami siap menggalang aksi lebih besar demi keadilan,” tutupnya.

Konflik sosial dan krisis ekologi di kawasan industri Morowali menjadi potret buram pembangunan yang abai pada keberlanjutan dan hak-hak masyarakat lokal. Kini, bola panas ada di tangan pemerintah dan manajemen BTIIG/PT IHIP: akankah mereka memilih dialog atau terus melanggengkan ketimpangan?. (*)

Editor: Ruslan Sangadji