Oleh: Ruslan Sangadji / KAIDAH.ID
SUARA-SUARA MESIN SMELTER NIKEL memang tak terdengar di ruang konferensi Swiss-Belhotel Palu, tetapi denyut industri terasa nyata dalam setiap sesi pelatihan jurnalistik yang digelar oleh PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), 21–23 Mei 2025. Temanya: Meningkatkan Kapasitas Media Daerah dalam Era Transparansi dan Transformasi Digital.
Di tengah ruang berpendingin, para jurnalis dari berbagai media duduk dengan tekun, membuka laptop mereka, bukan untuk menulis berita tentang kecelakaan di kawasan pertambangan atau konferensi organisasi jurnalis, tetapi untuk mengasah kembali “pisau” mereka: cara menulis yang tajam, objektif, dan relevan di era digital. Mereka mengikuti pelatihan jurnalistik.
“Bukan hanya teknologi, tetapi juga geopolitik dan etika komunikasi bergerak sangat dinamis. Oleh karena itu, penting bagi wartawan untuk terus memperkuat kemampuan menulis yang berkualitas dan berimbang,” tutur Emilia Bassar, Direktur Komunikasi PT IMIP, membuka pelatihan.
Emilia Bassar tidak sedang menggambarkan tantangan sebuah korporasi, tetapi realitas baru yang dihadapi para pekerja media hari ini.
Hari-hari ini, menjadi “benar” saja tidak cukup dalam jurnalistik. Informasi harus juga tepat waktu, terverifikasi, dan mampu bersaing dengan berdaun-daun narasi yang membanjiri media sosial.
Menurut Agenda-Setting Theory (McCombs, M. E., & Shaw, D. L. (1972)), media bukan hanya menyampaikan fakta, tetapi juga membentuk cara publik memandang realitas. Namun bagaimana jika narasi yang dibentuk lahir dari data mentah yang tak diverifikasi? Atau lebih buruk: disusun dengan bias yang tak disadari?
Maka, pelatihan ini hadir bukan hanya untuk meningkatkan keterampilan teknis, tapi juga memperkuat fondasi etik dan intelektual jurnalis lokal. Para peserta dibekali dengan materi seputar teknik penulisan berbasis data, analisis berita, verifikasi sumber, serta strategi menulis untuk pembaca digital yang semakin mobile dan cepat bosan.
Dalam diskusi tentang peliputan ekonomi dan industri, muncul satu pesan kuat: berita ekonomi bukan sekadar angka, melainkan kisah tentang manusia, buruh tambang, petani nikel(baca: penambang rakyat), eksportir kecil, atau ibu rumah tangga yang terdampak kebijakan industri.
Bagiku, menulis berita industri harus dimulai dari pemahaman yang menyeluruh, dan empati terhadap konteks.
Di sinilah Framing Theory (Goffman, 1993) menjadi penting. Cara jurnalis membingkai sebuah berita bisa menentukan persepsi publik: apakah ekspansi industri dimaknai sebagai kemajuan atau ancaman? Apakah pertumbuhan ekonomi dipahami sebagai peluang atau ketimpangan? Maka diperlukan kepekaan dalam menyusun narasi, bahwa setiap kata adalah pilihan moral.
KULTUR JURNALISME BARU
Dalam tiga hari pelatihan yang intens, para jurnalis tidak hanya dibekali teori dan teknik. Mereka juga diajak untuk merefleksikan posisi dan peran mereka di tengah pergeseran budaya media.
Inilah yang oleh banyak akademisi disebut sebagai kultur jurnalisme baru, sebuah lanskap tempat kerja jurnalistik, tidak lagi cukup dengan mengandalkan rutinitas lama, melainkan dituntut adaptif, reflektif, dan kolaboratif.
Menurut Jane Singer (2007), dalam studinya tentang digital journalism, jurnalis masa kini menghadapi transisi epistemologis, yakni suatu kondisi ketika batas antara produsen informasi (jurnalis) dan konsumen (audiens) semakin kabur. Informasi tidak lagi dimonopoli oleh newsroom, melainkan menjadi arena terbuka, tempat siapa pun bisa membentuk opini publik.
Di sinilah tantangan utama muncul. Dalam lingkungan digital yang penuh disrupsi, kultur jurnalisme baru menuntut lebih dari sekadar keterampilan teknis menulis, atau menyusun berita dengan rumus 5W + 1 H. Tapi ia menuntut integritas, literasi data, serta kemampuan membaca konteks sosial yang lebih luas.
Pelatihan jurnalistik seperti yang digelar PT IMIP di Palu ini, menjadi oase penting dalam membentuk kultur baru tersebut. Tidak hanya menyasar what journalists do (apa yang dilakukan oleh jurnalis), tetapi juga how they think (bagaimana mereka berpikir).
Dengan memberikan ruang diskusi tentang hoaks, disinformasi, dan tantangan etis, pelatihan ini sejalan dengan pandangan Michael Schudson (2001), yang menekankan, jurnalisme yang sehat adalah bagian dari sistem demokrasi yang hidup, ia bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membangun kapasitas publik untuk berpikir kritis.
Dalam ekosistem digital, jurnalis bukan lagi gatekeeper (penjaga gerbang) tunggal, tetapi telah menjadi bagian dari jaringan sosial yang dinamis. Maka muncul peran baru: jurnalis sebagai kurator informasi, fasilitator dialog publik, bahkan penjaga integritas narasi di tengah banjir konten.
Lebih jauh, teori Networked Journalism (Jarvis, 2006) menyebut, praktik jurnalistik kini semakin kolaboratif, keterlibatan audiens dan aktor sosial lain menjadi bagian integral dalam proses produksi berita. Ini menuntut kultur kerja yang terbuka, partisipatif, dan antisipatif terhadap perubahan sosial dan teknologi.
Dari pelatihan jurnalisitk itu, PT IMIP tampaknya memahami, bahwa keberlanjutan industri tidak bisa dilepaskan dari keberlanjutan komunikasi. Mendukung jurnalisme yang tangguh adalah bentuk tanggung jawab sosial yang lebih mendalam – bukan sekadar relasi media, tetapi investasi pada daya kritis masyarakat.
Di ruang pelatihan itu, kultur jurnalisme baru sedang dipraktikkan secara nyata: terbuka, saling belajar, dan berani berbenah. Jurnalis bukan lagi sekadar penyampai kabar, tetapi aktor intelektual dan moral dalam lanskap demokrasi digital yang terus bergerak. Semoga!. (*)
Tinggalkan Balasan