Selain IMIP, perusahaan seperti PT Vale Indonesia dan Harita Nickel (PT Trimegah Bangun Persada/NCKL) juga memainkan peran penting. Harita, misalnya, telah membangun pabrik nikel sulfat pertama di Indonesia di Pulau Obi, Maluku Utara, dan memproduksi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), bahan utama katoda baterai kendaraan listrik.

MENOPANG INFRASTRUKTUR STRATEGIS

Nikel juga menjadi bahan penting dalam:

  1. Konstruksi modern: dari gedung pencakar langit, jembatan, fasad bangunan, hingga sistem pagar dan penopang jalan.
  2. Transportasi umum: rel kereta, bodi MRT, dan struktur ringan namun kuat yang tahan tekanan tinggi.
  3. Dirgantara dan pertahanan: pembuatan superalloy untuk mesin jet, satelit, kapal selam, hingga pelat baja militer.

Dalam sektor energi, nikel digunakan dalam pembangkit listrik, baik konvensional maupun energi terbarukan. Turbin angin lepas pantai, panel surya, dan pembangkit air menggunakan baja tahan karat yang mengandung nikel untuk mencegah korosi dalam kondisi ekstrem.

TANTANGAN DAN POTENSI

Meski permintaan tinggi, pasar nikel global menghadapi volatilitas harga, ketegangan geopolitik, dan persaingan teknologi baterai non-nikel. Namun International Energy Agency (IEA) memperkirakan, pada 2040, permintaan nikel dari sektor baterai bisa melonjak hingga 19 kali lipat dibandingkan 2020.

Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia menyebut hilirisasi nikel sebagai “jalan tengah” antara pertumbuhan ekonomi dan kedaulatan sumber daya. Ia menegaskan, Indonesia tak ingin mengulang kesalahan masa lalu sebagai eksportir bahan mentah.

Nilai ekspor produk hilirisasi nikel melonjak dari US$3,3 miliar (2017–2018) menjadi US$33,5 miliar pada 2023, meningkat lebih dari 10 kali lipat. Nilai ekspor nikel hilir ini berkontribusi terhadap devisa negara sekitar Rp 537 triliun pada 2023 (kurs Rp 15.619/US$).

Dari sisi fiskal, penerimaan pajak dari industri hilirisasi nikel pada 2022 mencapai Rp17,96 triliun, terdiri dari, PPh badan: Rp7,36 triliun (naik 21× lipat dibanding 2016), PPh karyawan, PPN, dan pungutan lainnya. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor sumber daya alam non-migas (termasuk nikel) mencapai Rp120,1 triliun.

Beberapa daerah penghasil seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara mencatatkan PNBP daerah sekitar Rp10,8 triliun.

Data Kemendag menunjukan, nilai ekspor hilirisasi nikel Indonesia pada tahun 2024 mengalami lonjakan signifikan dibandingkan sebelum program hilirisasi dijalankan. Jika pada tahun 2018-2019 nilai ekspor nikel hanya sekitar US$ 3,3 miliar, pada tahun 2023 – 2024 nilai ekspornya melonjak menjadi US$ 35 miliar. Bahkan, pada tahun 2024, nilai ekspor nikel hasil hilirisasi sempat menyentuh angka US$ 38 – 40 miliar.

“Kalau kita hanya ekspor bijih, nilainya kecil. Tapi kalau kita olah, nilai tambah bisa meningkat berkali-kali lipat,” tegas Bahlil Lahadalia.

Saat dunia beralih ke kendaraan listrik, energi bersih, dan teknologi rendah karbon, nikel akan tetap menjadi jantung dari semua perubahan itu.

Indonesia yang kaya nikel punya peluang besar, tapi juga tanggung jawab besar, untuk memastikan logam ini diolah dengan berkelanjutan dan berkeadilan.

Dan ketika dunia berlomba menciptakan teknologi hijau, Indonesia sudah berada di tengah arena, tinggal bagaimana negara ini bisa menjaga keseimbangan antara eksploitasi, keberlanjutan, dan kedaulatan. Maka tanpa nikel, kita bukan hanya kehilangan logam. Kita kehilangan masa depan. (*)

Penulis: Ruslan Sangadji