DUNIA TANPA NIKEL, bayangkan jika satu unsur logam hilang dari bumi, tidak ada lagi kendaraan listrik, ponsel canggih kehilangan daya, infrastruktur rapuh, dan dapur modern kembali ke zaman lampau. Unsur itu adalah nikel, logam transisi yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern.
Nikel bukan sekadar logam. Ia adalah tulang punggung kehidupan modern. Ia adalah fondasi teknologi, energi masa depan, dan industri strategis. Dari dapur rumah tangga hingga luar angkasa, dari ponsel hingga kendaraan listrik, nikel menopang berbagai teknologi yang menjadikan hidup lebih cepat, efisien, dan berkelanjutan. Kehadiran nikel tak bisa diabaikan.
Indonesia menjadi bagian penting dari cerita besar ini. Dengan cadangan mencapai 21 juta ton atau sekitar 22% dari total cadangan dunia (USGS 2023), Indonesia kini tak hanya sebagai pemasok bahan mentah, tapi juga tengah mempercepat hilirisasi industri nikel untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri.
Nikel menjadi elemen penting dalam kehidupan modern, yang mengalir dari dapur rumah tangga hingga industri luar angkasa.
Tanpa nikel, banyak teknologi yang kita nikmati saat ini akan lumpuh. Elemen ini menopang banyak industri strategis, menjadikannya komoditas vital dalam peta geopolitik global.
Nikel (Ni), unsur logam transisi yang pertama kali ditemukan pada 1751 oleh Axel Fredrik Cronstedt, dikenal karena daya tahan terhadap korosi, konduktivitas listrik, serta fleksibilitas penggunaannya.
Karakteristik ini menjadikan nikel sebagai bahan dasar di berbagai sektor: energi, transportasi, elektronik, pertahanan, hingga telekomunikasi.
Indonesia adalah penghasil nikel terbesar di dunia dengan cadangan mencapai 21 juta ton (USGS 2023), sekitar 22% cadangan global. Hal ini memberi posisi strategis dalam rantai pasok global, khususnya dalam konteks transisi energi.
JIKA DUNIA TANPA NIKEL
Di balik ponsel cerdas, kendaraan listrik, dan turbin angin yang tenang memutar di lautan, ada satu logam yang menopang segalanya, nikel. Unsur logam keperakan ini jarang terlihat, namun kehadirannya menyentuh hampir setiap aspek kehidupan modern.
Klik halaman selanjutnya
Tanpa nikel, dunia bisa lumpuh. Teknologi akan mandek, transisi energi hijau terhambat, dan industri strategis seperti pertahanan, transportasi, dan konstruksi bisa mengalami disrupsi besar.
Bagi Indonesia, nikel bukan hanya sumber daya alam. Ia adalah aset geopolitik, peluang ekonomi masa depan, dan pilar penting dalam membangun kemandirian industri nasional.

Nikel adalah bahan penting dalam baja tahan karat (stainless steel), yang digunakan luas dalam peralatan dapur, alat elektronik, hingga infrastruktur bangunan.
Pada perangkat elektronik, nikel hadir dalam bentuk baterai lithium-ion, komponen solder, dan pelapis logam agar tahan korosi. Sebuah ponsel rata-rata mengandung hingga 0,05 gram nikel, terlihat kecil, namun krusial untuk daya tahan dan efisiensi baterai.
Dalam kendaraan listrik (EV), nikel menjadi bahan utama katoda baterai. Katoda berbasis nikel mampu menyimpan energi lebih banyak, memungkinkan mobil melaju lebih jauh dalam sekali pengisian.
INDONESIA RAJA NIKEL DUNIA
Menurut data US Geological Survey (2023), Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, mencapai 21 juta ton, atau sekitar 22% dari total cadangan global. Posisi ini membuat Indonesia menjadi pusat perhatian industri teknologi dunia—terutama dalam rantai pasok kendaraan listrik.
Namun pemerintah tak ingin berhenti sebagai penambang. Sejak 2020, Indonesia resmi melarang ekspor bijih nikel mentah, demi mendorong hilirisasi dalam negeri.
Salah satu kawasan yang menjadi model industrialisasi terintegrasi adalah, Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), di Sulawesi Tengah.
Kawasan ini dihuni oleh berbagai perusahaan nasional dan multinasional yang membangun smelter, pabrik pengolahan nikel, hingga fasilitas produksi bahan baku baterai EV.
Hingga akhir 2024, IMIP ditargetkan memiliki kapasitas produksi nikel matte dan produk turunan lain mencapai jutaan ton per tahun, menjadikannya salah satu pusat produksi logam baterai terbesar di Asia Tenggara.
Klik halaman selanjutnya
Selain IMIP, perusahaan seperti PT Vale Indonesia dan Harita Nickel (PT Trimegah Bangun Persada/NCKL) juga memainkan peran penting. Harita, misalnya, telah membangun pabrik nikel sulfat pertama di Indonesia di Pulau Obi, Maluku Utara, dan memproduksi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), bahan utama katoda baterai kendaraan listrik.
MENOPANG INFRASTRUKTUR STRATEGIS
Nikel juga menjadi bahan penting dalam:
- Konstruksi modern: dari gedung pencakar langit, jembatan, fasad bangunan, hingga sistem pagar dan penopang jalan.
- Transportasi umum: rel kereta, bodi MRT, dan struktur ringan namun kuat yang tahan tekanan tinggi.
- Dirgantara dan pertahanan: pembuatan superalloy untuk mesin jet, satelit, kapal selam, hingga pelat baja militer.
Dalam sektor energi, nikel digunakan dalam pembangkit listrik, baik konvensional maupun energi terbarukan. Turbin angin lepas pantai, panel surya, dan pembangkit air menggunakan baja tahan karat yang mengandung nikel untuk mencegah korosi dalam kondisi ekstrem.
TANTANGAN DAN POTENSI
Meski permintaan tinggi, pasar nikel global menghadapi volatilitas harga, ketegangan geopolitik, dan persaingan teknologi baterai non-nikel. Namun International Energy Agency (IEA) memperkirakan, pada 2040, permintaan nikel dari sektor baterai bisa melonjak hingga 19 kali lipat dibandingkan 2020.
Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia menyebut hilirisasi nikel sebagai “jalan tengah” antara pertumbuhan ekonomi dan kedaulatan sumber daya. Ia menegaskan, Indonesia tak ingin mengulang kesalahan masa lalu sebagai eksportir bahan mentah.
Nilai ekspor produk hilirisasi nikel melonjak dari US$3,3 miliar (2017–2018) menjadi US$33,5 miliar pada 2023, meningkat lebih dari 10 kali lipat. Nilai ekspor nikel hilir ini berkontribusi terhadap devisa negara sekitar Rp 537 triliun pada 2023 (kurs Rp 15.619/US$).
Dari sisi fiskal, penerimaan pajak dari industri hilirisasi nikel pada 2022 mencapai Rp17,96 triliun, terdiri dari, PPh badan: Rp7,36 triliun (naik 21× lipat dibanding 2016), PPh karyawan, PPN, dan pungutan lainnya. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor sumber daya alam non-migas (termasuk nikel) mencapai Rp120,1 triliun.
Beberapa daerah penghasil seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara mencatatkan PNBP daerah sekitar Rp10,8 triliun.
Data Kemendag menunjukan, nilai ekspor hilirisasi nikel Indonesia pada tahun 2024 mengalami lonjakan signifikan dibandingkan sebelum program hilirisasi dijalankan. Jika pada tahun 2018-2019 nilai ekspor nikel hanya sekitar US$ 3,3 miliar, pada tahun 2023 – 2024 nilai ekspornya melonjak menjadi US$ 35 miliar. Bahkan, pada tahun 2024, nilai ekspor nikel hasil hilirisasi sempat menyentuh angka US$ 38 – 40 miliar.

“Kalau kita hanya ekspor bijih, nilainya kecil. Tapi kalau kita olah, nilai tambah bisa meningkat berkali-kali lipat,” tegas Bahlil Lahadalia.
Saat dunia beralih ke kendaraan listrik, energi bersih, dan teknologi rendah karbon, nikel akan tetap menjadi jantung dari semua perubahan itu.
Indonesia yang kaya nikel punya peluang besar, tapi juga tanggung jawab besar, untuk memastikan logam ini diolah dengan berkelanjutan dan berkeadilan.
Dan ketika dunia berlomba menciptakan teknologi hijau, Indonesia sudah berada di tengah arena, tinggal bagaimana negara ini bisa menjaga keseimbangan antara eksploitasi, keberlanjutan, dan kedaulatan. Maka tanpa nikel, kita bukan hanya kehilangan logam. Kita kehilangan masa depan. (*)


Tinggalkan Balasan