Sejak itulah saya tidak pernah mau berhimpit-himpitan menunggu giliran jadi pengurus himpunan, karena saya anggap saya telah mencapai karir tinggi, menjadi peserta Kongres.
Selain itu, tiba-tiba saja pengurus HMI Cabang Makassar saat itu, amat surplus dalam bilangan tahun pendidikan yang dilewatinya, tetapi defisit dalam neraca kemampuan intelektual.
Saya pun amat kecewa karena himpunan telah memberi prinsip utama : harus kritis dan karena itu, harus punya kemampuan intelektual yang prima. Saya, sama sekali tidak tertarik dengan jenjang dan struktur himpunan. Saya menempuh cara saya sendiri dalam mengepakkan sayap misi himpunan, di luar struktur himpunan. Namun, saya tidak pernah meninggalkan himpunan.
Masa berganti era, saya pun ke negeri Paman Sam untuk waktu yang cukup lama. Di sanalah saya kian jadi HMI, karena saya menemukan sebuah lahan subur untuk pengembangan karir intelektual saya.
Di sanalah saya menemukan makna kepelangian dalam praktik hidup, yang ditanamkan oleh HMI jauh sebelumnya. Di sanalah saya menemukan pangkalan pendaratan kebebasan intelektual yang selama ini diajarkan di himpunan, pengembaraan intelektual saya ini, berlangsung tanpa sunyi karena ternyata saya menemukan banyak sekali kader HMI yang mengelana, sama dengan saya.
Di hari-hari dan tahun-tahun itulah, saya kian bangga menjadi warga himpunan, karena saya menemukan harta karun bangsa yang telah melewati padepokan himpunan. Mereka menyebar dengan berbagai orientasi keilmuan. Mereka inilah yang kembali mengisi lembaran-lembaran chapter kehidupan bangsa setelah reformasi. Saya bangga menjadi anak himpunan.
Rasa harga diri sebagai anak himpunan ini, kian menebal tatkala di suatu malam, Wapres RI, M. Jusuf Kalla, mengumpulkan kami: Bagir Manan (Ketua Mahkamah Agung RI), Jimly Asshidiqie (Ketua Mahkamah Konstitusi RI), Hamid Awaludin (masih menjabat Menteri Hukum dan HAM RI), Abdurrachman Saleh (Jaksa Agung RI).
“Anda semua adalah anak-anak himpunan yang menentukan hitam dan putihnya dunia hukum di Republik ini. Bersyukur pada Tuhan, karena inilah momen di mana anak-anak himpunan berada dalam perahu yang sama,” kata JK.
Kami tertunduk syukur karena itu. Ya, saya bangga jadi anak himpunan. Lalu, saya bertugas jadi Dubes RI di federasi Rusia dan Belarusia. Maka, sekali tempo, di tengah musim dingin yang menusuk dengan salju yang menyelimuti kota Moskow, saya menyaksikan anak-anak muda Rusia yang memprotes ke pemerintah. Mereka mengaum menuntut adanya kebebasan bersuara. Mereka mengaum agar kebebasan berbicara dan berserikat tidak diganggu di Rusia.
Di saat-saat itulah saya teringat dengan ucapan Voltaire, seorang filsuf Perancis: “Saya amat tidak setuju dengan apa yang sedang kamu suarakan. Namun, saya akan membela hingga saya mati, hak kamu mengucapkan apa yang saya tidak setujui itu”.
Jauh sebelum saya membaca dan mengingat ucapan ini, HMI telah membekali saya prinsip kebebasan. Saya bangga menjadi anak Himpunan!
(Hamid Awaluddin, Ph.D., alumni Jurusan Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas. Hamid pernah menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM pada periode Pemerintahan SBY-JK, dan Duta Besar RI di Rusia, pada masa SBY-Budiono.)
Bangga menjadi kader HMI.

Tinggalkan Balasan