Hamid Awaludin
Helsinki, Ibukota negara Finlandia di bulan Januari Kota di tepian laut Baltik ini berselubung salju. Dinginnya membekukan ujung-ujung jari. Hanya mantel berlapis, kaos tangan, dan teh panas yang rasanya bisa menawar rasa menggigil dan gigi yang gemeretak oleh dingin.
Tapi, dalam cuaca sebeku itu, saya – yang memimpin delegasi kecil Pemerintah Indonesia berunding dengan para petinggi Gerakan Aceh Merdeka – tetap merasakan panas yang menggelegak. Bukan saya saja, anggota tim, apatah lagi “lawan” kami di meja perundingan, Malik Mahmud, Zaini Abdullah, dan lain-lain. Semuanya memegang bara yang hendak dipertautkan agar saling mendinginkan di meja perundingan.
Zaini Abdullah adalah tokoh yang angker. Wajahnya dingin, air mukanya tenang, senyumnya jarang, bicaranya diplomatis dan terukur. Malah cenderung irit. Maklum, karena Zaini adalah seorang dokter yang kemudian melanglang buana sebagai Menteri Luar Negeri GAM.
Para perunding pemerintah sebelum saya, termasuk Mantan Menlu RI, Hassan Wirajudha memberitahu saya bahwa Zaini Abdullah sangat sulit diajak berunding. Ia mudah marah dan cenderung tak mudah percaya dan mendengar orang lain.
Saya mengakrabi Zaini Abdullah lewat sebuah topik yang tak bertaut dengan soal Aceh. Bukan soal Aceh? Di belakang mansion di Vantaa, lokasi perundingan, ada taman nan lapang. Lalu ada kali berair bening yang mengalir dengan setapak kecil di tepiannya. Di saat-saat debat kata menemukan jalan buntu, ke tepian kali inilah saya menyingkir, sembari mengajak dua pemimpin delegasi GAM, Tengku Malik Mahmud dan Zaini Abdullah.
Sembari menyusuri tepian kali, kami bertiga hendak berbicara dari hati ke hati, melepas atribut, dan mencari celah kesepakatan tanpa satupun pihak pun kehilangan muka dan martabatnya.
Saat itulah, Zaini Abdullah bertanya ke saya; “Pak Hamid dulu aktif di HMI ya?” Pertanyaannya ramah, seperti datang dari kawan lama. “Iya tengku. Saya alumnus HMI?” “Saya juga dari HMI,” kata Zaini Abdullah.
Ternyata, semasa menempuh pendidikan dokter di Universitas Sumatera Utara, Zaini Abdullah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam. Ia bahkan pernah menjadi Pengurus Badko HMI Wilayah Sumatera Utara. Jadilah kami yang aktif di HMI pada zaman yang berbeda, saling bernostalgia.
Sedikit-sedikit, saya menautkan ihwal HMI ini dengan perundingan yang tengah kami jalankan. Boleh dikata, perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan GAM,
sesungguhnya adalah reuni antara alumnus HMI.
Mengapa? Zaini Abdullah dari pihak GAM, adalah mantan aktivis HMI sementara Hamid Awaludin, Sofyan Djalil, dan Farid Husein dari pihak pemerintah Indonesia, juga adalah mantan aktivis HMI.
Klik halaman selanjutnya >
Jadi, sebenarnya, seperti kata Jusuf Kalla di berbagai kesempatan, “Perundingan damai untuk Aceh adalah dari HMI ke HMI, atau pertemuan sehimpunan.”
Begitulah. Agenda yang berbeda, yang sama-sama diantar dengan hati yang panas, menjadi dingin dan dipertautkan oleh sekeping masa lalu bernama HMI.
Ketika saya menelepon M. Jusuf Kalla (JK), yang saat itu adalah Wakil Presiden RI, 2004- 2009 dan pengambil inisiatif perdamaian Aceh, tentang pengakuan Zaini Abdullah bahwa ia seorang aktivis HMI di masa lalu, JK langsung menimpali: “Hamid, Insya Allah kita bisa damai. Ambil air wudhu segera dan shalat syukur. Ini pintu masuk yang amat baik,” tegas JK.
Jelas buat saya, HMI adalah sebuah jejaring sosial yang merambah ke mana-mana. jejaring ini amat efektif ternyata di hari-hari berikutnya.
Perjanjian damai Aceh yang menghentikan konflik berdarah selama 30 tahun, bisa dilakukan dengan sapaan antara sesama warga sehimpunan. Satu mewakili pemerintah RI dan yang satunya lagi mewakili kelompok yang menggempur pemerintah RI.
HMI ternyata menjadi jembatan yang menghubungkan dua arah yang berlawanan dan melancarkan perjalanan siapa saja di atasnya. HMI jelas jadi sebuah pengikat agar siapa saja tidak bercerai-berai. Sebuah ikatan agar manik-manik tidak berjatuhan dan berceceran entah ke mana. HMI adalah sebuah benda yang bergerak dan lentur.
Ia telah melewati rentang waktu dan jarak ruang republik yang begitu panjang. Lantaran itulah, HMI telah berjejak ke belakang. Dan jejak-jejak itulah yang membuatnya kian efektif menjadi jembatan sosial
dengan fondasi kultural.
Dengan gerakan yang lentur membuat HMI menjadi sebuah telaga yang menampung semua aliran air, dari mana saja datangnya. la bukan sebuah bendungan yang hanya menampung aliran air dari satu arah. Dari sini pulalah seyogianya kita memandang, mengapa kader-kader HMI, selain berada di mana-mana melting pot society, maka HMI juga bisa dipersepsikan sebagai melting pot institution.
Kelenturan, juga berasal dari mana-mana. Bila Amerika Serikat dikenal juga, membuat para kader HMI tegak tengadah dengan prinsip penghargaan yang tinggi terhadap eloknya kemajemukan. Dengan kelenturanlah membuat kader-kader HMI selalu ceria menegakkan pandangan ke arah pelangi yang selain berwarna-warni, juga pertanda kesejukan, setelah badai hujan mengguyur.
Saya bangga menjadi kader HMI. Ajaran Kepelangian ini, disempurnakan lagi orientasi sikap kritis yang menjadi nafas pergerakan. Kritis dalam berpikir dan bersikap. Ajaran kritis ini tertanam bagi siapa saja yang pernah bersentuhan dengan himpunan.
Dalam perspektif inilah mengapa kita acapkali menyaksikan penampangan para kader HMI, terbiasa keluar dari pakem kejumudan dan bersilangan arah dengan sesuatu yang mapan. Sikap kritis inilah yang melahirkan budaya intelektual dalam HMI.
Menyoal ihwal adalah inti pokok ajaran himpunan. Meragukan soal adalah fondasi perkaderan. Gelisah menemukan jawaban dan meragukan realitas adalah prasyarat mutlak untuk melebel diri sebagai warga himpunan. Simpul kata, kegelisahan intelektual yang disandingkan dengan ajaran kepelangian adalah pilar himpunan.
Perjalanan saya di HMI, amat beda dibanding teman-teman lainnya, yang meniti karir dari jenjang satu ke jenjang yang lain. Empat hari setelah saya ikut Basic Training di sebuah rumah di bagian selatan Kota Makassar, saya langsung ikut Kongres HMI yang saat itu dilaksanakan di Makassar.
Biasanya, peserta Kongres itu adalah para pimpinan HMI atau kader-kader yang telah “beruban” lantaran kelamaan. Saya sama sekali berbeda.
Ceritanya seperti berikut. Guru saya di SMP dan SMA di Parepare, adalah aktivis HMI tulen. Maka, ketika Kongres HMI di Makassar, mereka memasukkan saya menjadi peserta Kongres, mewakili kota saya, Parepare. Suatu loncatan karir di himpunan yang begitu dahsyat.
Klik halaman selanjutnya >
Sejak itulah saya tidak pernah mau berhimpit-himpitan menunggu giliran jadi pengurus himpunan, karena saya anggap saya telah mencapai karir tinggi, menjadi peserta Kongres.
Selain itu, tiba-tiba saja pengurus HMI Cabang Makassar saat itu, amat surplus dalam bilangan tahun pendidikan yang dilewatinya, tetapi defisit dalam neraca kemampuan intelektual.
Saya pun amat kecewa karena himpunan telah memberi prinsip utama : harus kritis dan karena itu, harus punya kemampuan intelektual yang prima. Saya, sama sekali tidak tertarik dengan jenjang dan struktur himpunan. Saya menempuh cara saya sendiri dalam mengepakkan sayap misi himpunan, di luar struktur himpunan. Namun, saya tidak pernah meninggalkan himpunan.
Masa berganti era, saya pun ke negeri Paman Sam untuk waktu yang cukup lama. Di sanalah saya kian jadi HMI, karena saya menemukan sebuah lahan subur untuk pengembangan karir intelektual saya.
Di sanalah saya menemukan makna kepelangian dalam praktik hidup, yang ditanamkan oleh HMI jauh sebelumnya. Di sanalah saya menemukan pangkalan pendaratan kebebasan intelektual yang selama ini diajarkan di himpunan, pengembaraan intelektual saya ini, berlangsung tanpa sunyi karena ternyata saya menemukan banyak sekali kader HMI yang mengelana, sama dengan saya.
Di hari-hari dan tahun-tahun itulah, saya kian bangga menjadi warga himpunan, karena saya menemukan harta karun bangsa yang telah melewati padepokan himpunan. Mereka menyebar dengan berbagai orientasi keilmuan. Mereka inilah yang kembali mengisi lembaran-lembaran chapter kehidupan bangsa setelah reformasi. Saya bangga menjadi anak himpunan.
Rasa harga diri sebagai anak himpunan ini, kian menebal tatkala di suatu malam, Wapres RI, M. Jusuf Kalla, mengumpulkan kami: Bagir Manan (Ketua Mahkamah Agung RI), Jimly Asshidiqie (Ketua Mahkamah Konstitusi RI), Hamid Awaludin (masih menjabat Menteri Hukum dan HAM RI), Abdurrachman Saleh (Jaksa Agung RI).
“Anda semua adalah anak-anak himpunan yang menentukan hitam dan putihnya dunia hukum di Republik ini. Bersyukur pada Tuhan, karena inilah momen di mana anak-anak himpunan berada dalam perahu yang sama,” kata JK.
Kami tertunduk syukur karena itu. Ya, saya bangga jadi anak himpunan. Lalu, saya bertugas jadi Dubes RI di federasi Rusia dan Belarusia. Maka, sekali tempo, di tengah musim dingin yang menusuk dengan salju yang menyelimuti kota Moskow, saya menyaksikan anak-anak muda Rusia yang memprotes ke pemerintah. Mereka mengaum menuntut adanya kebebasan bersuara. Mereka mengaum agar kebebasan berbicara dan berserikat tidak diganggu di Rusia.
Di saat-saat itulah saya teringat dengan ucapan Voltaire, seorang filsuf Perancis: “Saya amat tidak setuju dengan apa yang sedang kamu suarakan. Namun, saya akan membela hingga saya mati, hak kamu mengucapkan apa yang saya tidak setujui itu”.
Jauh sebelum saya membaca dan mengingat ucapan ini, HMI telah membekali saya prinsip kebebasan. Saya bangga menjadi anak Himpunan!
(Hamid Awaluddin, Ph.D., alumni Jurusan Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas. Hamid pernah menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM pada periode Pemerintahan SBY-JK, dan Duta Besar RI di Rusia, pada masa SBY-Budiono.)
Bangga menjadi kader HMI.


Tinggalkan Balasan