Dunia di luar kampus adalah medan pertarungan baru, dengan tantangan yang lebih kompleks, nuansa abu-abu yang lebih pekat. Di sinilah mereka bertransformasi. Semangat itu tak hilang, hanya saja, ia mulai menenangkan diri, meresapi setiap pelajaran, hingga akhirnya berlabuh di sebuah dermaga bernama Korps Alumni HMI (KAHMI).
Di KAHMI, kita bertemu dengan wajah-wajah lama yang kini telah menjadi pribadi yang berbeda. Semangat itu masih ada, namun kini lebih tenang, lebih matang. Cara berpikir mereka telah mengalami evolusi mendalam: lebih luas dalam perspektif, lebih dalam dalam analisis, dan yang terpenting, lebih bijaksana dalam setiap langkah.
Tak ada lagi reaksi spontan yang meledak-ledak. Yang ada adalah pertimbangan matang, strategi jangka panjang, dan keputusan yang memikirkan dampak luas bagi bangsa.
Namun demikian, tidak semua alumni mampu melewati proses transformasi ini secara utuh. Masih ada sebagian yang membawa cara berpikir lama ke dalam ruang-ruang yang menuntut kebijaksanaan. Jika masih ada KAHMI yang bersikap reaktif, sempit dalam membaca dinamika, atau fanatik dalam kacamata hitam-putih, maka sangatlah merugi. Mereka, sesungguhnya, tak ubahnya seperti masih di fase HMI, hanya saja kini memakai jas dan dasi.
Kebijaksanaan adalah hak istimewa, yang diperoleh dari perjalanan panjang dan refleksi mendalam. Bila itu diabaikan, maka eksistensi KAHMI hanya menjadi nama tanpa makna, wadah tanpa jiwa.
BARA API DAN MENJAGA KEHANGATAN
Jika HMI adalah bara api yang membakar semangat perubahan, maka KAHMI adalah bara yang tetap menyala, menjaga kehangatan, dan memberi arah. Mereka mungkin tak lagi turun ke jalan, tak lagi mengibarkan bendera aksi di tengah keramaian.
Namun, suara mereka tetap bergema, terdengar jelas di ruang-ruang kebijakan, dalam diskusi-diskusi intelektual yang mencerahkan, dan di balik meja-meja pengambilan keputusan strategis yang menentukan arah bangsa. Pengaruh mereka kini terasa dalam diam, namun jauh lebih dalam.
Perbedaan antara HMI dan KAHMI bukanlah jurang pemisah, melainkan sebuah kontinum, sebuah tahapan alami dalam perjalanan seorang kader. Ini adalah metamorfosis dari idealisme yang membara menuju kebijaksanaan yang menenangkan.
Dari semangat yang menggebu-gebu menuju strategi yang terukur. Dan dari suara lantang yang revolusioner, menuju pengaruh yang tenang, namun memiliki kedalaman dan dampak yang luar biasa.
Sebab sejatinya, menjadi bijak tidaklah berarti kehilangan semangat. Justru sebaliknya, semangat itu kini disalurkan melalui saluran yang lebih tenang, lebih terukur, dan akhirnya, lebih berdampak. Ia seperti sungai yang dulu deras mengalir, kini menjadi danau tenang yang memantulkan kebijaksanaan, siap mengairi dan menghidupi lahan-lahan perubahan dengan cara yang lebih berdaya.
Namun, jangan salah sangka, kedewasaan bijak ini bukanlah penanda padamnya bara perjuangan. Sebaliknya, ia adalah evolusi dari metode perjuangan itu sendiri.
KAHMI, dengan segala pengalaman dan jejaringnya, mampu menavigasi labirin kompleks kekuasaan dan kebijakan dengan presisi yang dulu mungkin sulit dicapai.
Mereka bergerak di balik layar, mempengaruhi dengan gagasan, dan membangun konsensus. Ini adalah perjuangan tanpa hiruk pikuk, yang dampaknya justru seringkali lebih fundamental dan bertahan lama.
Maka, ketika kita melihat seorang kader HMI yang berteriak lantang di jalanan, atau seorang alumni KAHMI yang berdiskusi serius di ruang rapat, kita sesungguhnya sedang menyaksikan fase-fase berbeda dari satu semangat yang sama.
Keduanya adalah penegasan, bahwa HMI dan KAHMI adalah denyut nadi yang tak terpisahkan dari perjalanan bangsa ini. Mereka adalah bukti nyata, bahwa idealisme bisa tumbuh, beradaptasi, dan terus memberi kontribusi, dari ledakan semangat masa muda hingga kedewasaan bijak yang membumi. (*)
Billahittaufiq wal Hidayah
Penulis: Ruslan Sangadji/Wasekjen MN KAHMI


Tinggalkan Balasan