SEPEKAN TERAKHIR INI, saya merasa seperti terlempar ke dalam pusaran waktu, menyaksikan lanskap pemikiran yang begitu dinamis membentang dari genggaman ponsel hingga bentangan layar laptop. Di satu sudut, grup-grup WhatsApp tak henti bergemuruh, riuh dengan debat kebangsaan yang seakan tak berujung,sebuah cerminan nyata dari hiruk pikuk dinamika sosial kita.
Namun, di sisi lain, dari layar laptop anak saya, sayup-sayup terdengar gema LK I HMI Komisariat Persiapan Insan Cita UICI yang digelar secara daring. Suara itu, yang terdengar dari speaker portable miliknya, sontak menyeret saya kembali ke masa lalu, ke sebuah ruangan di Komisariat FISIP Universitas Tadulako, Palu, tempat saya sendiri pernah menjadi peserta LK I. Sebuah nostalgia yang manis, sekaligus pengingat akan jejak awal perjuangan.
Sebelum hanyut dalam kenangan itu, saya pun sempat merasakan denyut jantung organisasi yang lebih matang. Pekan lalu, saya turut serta dalam rapat harian yang dipimpin oleh Koordinator Presidium MN KAHMI, M. Rifqinizamy Karsayuda.
Rapat perdana pasca-penetapan presidium baru ini, yang melanjutkan estafet kepemimpinan Saan Mustopa, begitu menjanjikan. Rifqi memaparkan program-program baru, termasuk rencana besar untuk menggelar pertemuan regional KAHMI se-Indonesia di enam daerah berbeda. Ternate, yang jauh di timur sana, akan menjadi titik awal, membuka jalan bagi wilayah Maluku dan Papua.
Berbagai pengalaman inilah, dari hiruk pikuk debat online, nostalgia masa perkaderan anak, hingga perencanaan strategis KAHMI—yang kemudian menggerakkan hati saya untuk merangkai pemikiran ini dalam sebuah tulisan. Ini bukan sekadar catatan pribadi, melainkan upaya untuk menyingkap benang merah perjalanan sebuah organisasi yang tak pernah lelah berkontribusi pada bangsa.
KAWAH CANDRADIMUKA
Di setiap lipatan sejarah bangsa ini, selalu terukir jelas jejak perjuangan yang tak lekang oleh waktu, seolah menjadi prasasti abadi. Jejak-jejak itu seringkali bermula dari lorong-lorong kampus yang sunyi, dari benak-benak mahasiswa yang gelisah, yang dibakar oleh dahaga akan keadilan dan perubahan.
Klik halaman selanjutnya setelah iklan >
Di antara sekian banyak nama dan organisasi yang silih berganti, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berdiri tegak, tak pernah goyah. Ia konsisten menjaga bara idealisme itu tetap menyala, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, tak pernah padam.
Sejak kelahirannya, HMI telah menjadi sebuah kawah candradimuka sejati. Di sanalah, benih-benih muda, para mahasiswa Islam yang penuh potensi, ditempa dengan keras, diasah tanpa henti, hingga menjelma menjadi pribadi-pribadi dengan semangat yang menggelegak.
Mereka adalah para pemberani sejati, pemilik suara lantang yang tak gentar sedikit pun menghadapi tirani dan kezaliman yang ada. Sebuah energi murni, penuh daya dobrak, yang selalu siap mengguncang kemapanan yang dirasa telah usang.
Tidaklah aneh jika di fase ini, cara berpikir kader HMI seringkali tampak meledak-ledak. Reaksi cepat, terkadang impulsif, dengan pandangan dunia yang seringkali hitam-putih. Namun, justru dari kobaran api semangat inilah gagasan-gagasan besar lahir, dan aksi-aksi nyata yang mengguncang tatanan lama pun dilancarkan. Mereka adalah gelombang pertama perubahan, sang pembawa obor idealisme yang tak pernah padam.
KEDEWASAAN BIJAK
Seiring berjalannya waktu, sang guru terbaik [pengalaman] mulai menempa mereka. Satu per satu, para kader HMI menanggalkan jas almamater yang menjadi saksi bisu perjuangan, melangkah keluar, dan menyelami samudera kehidupan yang jauh lebih luas.
Klik halaman selanjutnya setelah iklan >
Dunia di luar kampus adalah medan pertarungan baru, dengan tantangan yang lebih kompleks, nuansa abu-abu yang lebih pekat. Di sinilah mereka bertransformasi. Semangat itu tak hilang, hanya saja, ia mulai menenangkan diri, meresapi setiap pelajaran, hingga akhirnya berlabuh di sebuah dermaga bernama Korps Alumni HMI (KAHMI).
Di KAHMI, kita bertemu dengan wajah-wajah lama yang kini telah menjadi pribadi yang berbeda. Semangat itu masih ada, namun kini lebih tenang, lebih matang. Cara berpikir mereka telah mengalami evolusi mendalam: lebih luas dalam perspektif, lebih dalam dalam analisis, dan yang terpenting, lebih bijaksana dalam setiap langkah.
Tak ada lagi reaksi spontan yang meledak-ledak. Yang ada adalah pertimbangan matang, strategi jangka panjang, dan keputusan yang memikirkan dampak luas bagi bangsa.
Namun demikian, tidak semua alumni mampu melewati proses transformasi ini secara utuh. Masih ada sebagian yang membawa cara berpikir lama ke dalam ruang-ruang yang menuntut kebijaksanaan. Jika masih ada KAHMI yang bersikap reaktif, sempit dalam membaca dinamika, atau fanatik dalam kacamata hitam-putih, maka sangatlah merugi. Mereka, sesungguhnya, tak ubahnya seperti masih di fase HMI, hanya saja kini memakai jas dan dasi.
Kebijaksanaan adalah hak istimewa, yang diperoleh dari perjalanan panjang dan refleksi mendalam. Bila itu diabaikan, maka eksistensi KAHMI hanya menjadi nama tanpa makna, wadah tanpa jiwa.
BARA API DAN MENJAGA KEHANGATAN
Jika HMI adalah bara api yang membakar semangat perubahan, maka KAHMI adalah bara yang tetap menyala, menjaga kehangatan, dan memberi arah. Mereka mungkin tak lagi turun ke jalan, tak lagi mengibarkan bendera aksi di tengah keramaian.
Namun, suara mereka tetap bergema, terdengar jelas di ruang-ruang kebijakan, dalam diskusi-diskusi intelektual yang mencerahkan, dan di balik meja-meja pengambilan keputusan strategis yang menentukan arah bangsa. Pengaruh mereka kini terasa dalam diam, namun jauh lebih dalam.
Perbedaan antara HMI dan KAHMI bukanlah jurang pemisah, melainkan sebuah kontinum, sebuah tahapan alami dalam perjalanan seorang kader. Ini adalah metamorfosis dari idealisme yang membara menuju kebijaksanaan yang menenangkan.
Dari semangat yang menggebu-gebu menuju strategi yang terukur. Dan dari suara lantang yang revolusioner, menuju pengaruh yang tenang, namun memiliki kedalaman dan dampak yang luar biasa.
Sebab sejatinya, menjadi bijak tidaklah berarti kehilangan semangat. Justru sebaliknya, semangat itu kini disalurkan melalui saluran yang lebih tenang, lebih terukur, dan akhirnya, lebih berdampak. Ia seperti sungai yang dulu deras mengalir, kini menjadi danau tenang yang memantulkan kebijaksanaan, siap mengairi dan menghidupi lahan-lahan perubahan dengan cara yang lebih berdaya.
Namun, jangan salah sangka, kedewasaan bijak ini bukanlah penanda padamnya bara perjuangan. Sebaliknya, ia adalah evolusi dari metode perjuangan itu sendiri.
KAHMI, dengan segala pengalaman dan jejaringnya, mampu menavigasi labirin kompleks kekuasaan dan kebijakan dengan presisi yang dulu mungkin sulit dicapai.
Mereka bergerak di balik layar, mempengaruhi dengan gagasan, dan membangun konsensus. Ini adalah perjuangan tanpa hiruk pikuk, yang dampaknya justru seringkali lebih fundamental dan bertahan lama.
Maka, ketika kita melihat seorang kader HMI yang berteriak lantang di jalanan, atau seorang alumni KAHMI yang berdiskusi serius di ruang rapat, kita sesungguhnya sedang menyaksikan fase-fase berbeda dari satu semangat yang sama.
Keduanya adalah penegasan, bahwa HMI dan KAHMI adalah denyut nadi yang tak terpisahkan dari perjalanan bangsa ini. Mereka adalah bukti nyata, bahwa idealisme bisa tumbuh, beradaptasi, dan terus memberi kontribusi, dari ledakan semangat masa muda hingga kedewasaan bijak yang membumi. (*)
Billahittaufiq wal Hidayah
Penulis: Ruslan Sangadji/Wasekjen MN KAHMI


Tinggalkan Balasan