1. Mohammad Arus Abdul Karim → DPP menjadi sandaran utama. Jika diskresi diberikan, posisinya tetap paling kuat.
  2. Imelda Liliana Muhidin → Restu keluarga besar dan DPP, terutama lewat pengaruh ayahnya, bisa menjadikannya lawan serius.
  3. Irwan Lapatta → Organisasi sayap (Kosgoro) dan pengalaman birokrasi, punya jaringan di daerah.
  4. Erwin Burase → Basis daerah, kuat di tingkat akar rumput.
  5. Amiruddin Tamoreka → Prestasi dua periode Banggai, bisa jadi kuda hitam dengan strategi lokal yang tak terduga.

Peta ini memperlihatkan bahwa Musda XI Golkar Sulteng bukan sekadar pertarungan figur, melainkan juga pertarungan jalur kekuatan:

  • Diskresi DPP vs Aspirasi daerah.
  • Kekuatan organisasi sayap vs jaringan birokrat lokal.
  • Restu keluarga besar vs pengalaman lapangan.

BABAK BARU GOLKAR SULTENG

Musda XI Golkar Sulteng 24 Agustus mendatang berpotensi menjadi yang paling panas dalam dua dekade terakhir.

Jika Arus berhasil mengantongi diskresi, ia masih menjadi favorit. Namun, jika diskresi tak turun, pertarungan terbuka lebar, dan nama-nama seperti Imelda, Irwan, Erwin, hingga Amiruddin akan saling sikut.

Satu hal pasti: Musda kali ini bukan sekadar memilih ketua, tetapi menentukan arah baru Golkar Sulteng, apakah tetap bertahan dengan arus lama, atau memberi ruang bagi gelombang baru yang ingin membawa warna berbeda.

SIMULASI SKENARIO MUSDA XI GOLKAR SULTENG

  • Skenario 1: Diskresi Turun untuk Mohammad Arus Abdul Karim

Jika DPP Golkar memberikan diskresi khusus bagi Mohammad Arus Abdul Karim, maka jalannya Musda praktis akan berat sebelah. Arus akan tampil sebagai kandidat dominan dengan legitimasi pusat.

Dalam skenario ini, lawan-lawannya hanya punya dua pilihan:

  1. Bergabung mendukung Arus, demi menjaga konsolidasi partai, atau
  2. 2. Tetap maju sebagai penantang simbolik, meski peluang menang sangat tipis.

Namun, dominasi Arus bukan tanpa risiko. Kader di daerah yang menginginkan penyegaran bisa kecewa, sehingga rawan memunculkan friksi. DPP perlu memastikan jika Arus kembali memimpin, ia mampu merangkul dan mengakomodasi kader baru agar Golkar tidak pecah pasca-Musda.

  • Skenario 2: Diskresi Tidak Turun**

Jika DPP tidak mengeluarkan diskresi, Arus otomatis gugur dari gelanggang. Inilah skenario yang paling membuka ruang pertarungan keras.

Dalam kondisi ini, peta pertarungan diperkirakan akan bergeser ke adu pengaruh antara Imelda Liliana Muhidin dan Mohamad Irwan Lapatta.

Imelda akan menjadi unggulan, karena dukungan ayahnya di DPP (Muhidin Mohamad Said) yang punya posisi penting. Ia bisa membawa dukungan struktural partai, serta narasi regenerasi dan keterwakilan perempuan.

Sedangkan Irwan punya keunggulan sebagai representasi daerah dan pengendali Kosgoro. Jika ia mampu mengonsolidasikan suara kabupaten/kota melalui jaringan organisasi KINO, peluangnya terbuka lebar.

Di sisi lain, Erwin Burase dan Amiruddin Tamoreka bisa menjadi king maker. Keduanya punya basis daerah yang kuat, namun belum tentu cukup untuk menang sendiri. Dengan demikian, arah dukungan mereka bisa menjadi penentu siapa yang akan melenggang sebagai ketua.

  • Skenario 3: Jika DPP Condong ke Imelda Liliana Muhidin

Jika DPP Golkar terang-terangan menunjukkan keberpihakan pada Imelda, pertarungan akan berubah drastis.

Dukungan pusat akan mendorong sebagian besar pemilik suara di Musda untuk beralih ke kubu Imelda. Apalagi, posisinya sebagai Bendahara Golkar Sulteng memberi akses terhadap logistik politik, faktor krusial dalam Musda.

Namun, skenario ini juga berpotensi menimbulkan perlawanan diam-diam dari daerah. Figur seperti Irwan, Erwin, dan Amiruddin bisa bersatu menantang “kandidat pusat” jika merasa kepentingan daerah diabaikan. Hasilnya bisa pertarungan sengit antara kekuatan pusat dan basis daerah.

  • Skenario 4: Pertarungan Multi-Kandidat Tanpa Dominasi

Jika tidak ada kandidat yang benar-benar dominan, Musda bisa berubah menjadi arena tawar-menawar politik.

Dalam kondisi ini, suara akan terpecah:

  • Imelda kuat di dukungan DPP,
  • Irwan solid lewat Kosgoro,
  • Erwin berbekal Parigi Moutong,
  • Amiruddin mengandalkan Banggai.

Pertarungan seperti ini biasanya menghasilkan dua kemungkinan:

  1. Kompromi politik → muncul figur ketua hasil kesepakatan, bukan hasil suara murni.
  2. Kejutan kuda hitam → kandidat yang awalnya dianggap lemah justru keluar sebagai pemenang, karena piawai membangun aliansi menit terakhir.

Pada akhirnya, Musda XI Golkar Sulteng bukan hanya panggung perebutan kursi ketua, melainkan juga ujian bagi Golkar sendiri: apakah ia mampu menjaga soliditas di tengah dinamika arus lama dan gelombang baru, atau justru terjebak dalam tarik-menarik kepentingan yang bisa merobek jaring persatuan.

Satu hal yang pasti, siapa pun yang keluar sebagai pemenang pada 24 Agustus nanti, dialah yang akan menulis babak baru perjalanan Golkar Sulteng, apakah sebagai partai yang terus berulang di lingkaran lama, atau partai yang berani membuka jalan bagi masa depan yang lebih segar. Dan Bahlil Lahadalia sudah tahu ke siapa amanah akan diserahkan. (*)

Wallahu A’lam