Oleh: Ruslan Sangadji/Kaidah.ID
GONG MUSYAWARAH DAERAH (Musda) XI Partai Golkar Sulawesi Tengah sudah ditabuh. Jadwal resmi panitia sudah beredar: pengambilan formulir bakal calon ketua pada 20 Agustus 2025, pengembalian pada 22 Agustus 2025, dan puncaknya pemilihan ketua DPD Golkar Sulteng pada 24 Agustus 2025 yang dipastikan dihadiri oleh Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia.
Meski begitu, suhu politik internal sudah lebih dulu memanas. Hingga saat ini, belum ada kader yang secara gamblang menyerahkan diri ke arena. Satu-satunya nama yang benar-benar dominan dalam wacana publik tetaplah Mohammad Arus Abdul Karim.
Dua periode sudah ia memimpin Golkar Sulteng. Namun, untuk maju ketiga kalinya, Arus harus mendapatkan diskresi dari DPP Golkar. Tanpa itu, langkahnya akan terbentur aturan partai. Dan ceritanya, diskresi dalam bentuk surat resmi DPP yang diteken Ketua Umum Bahlil Lahadalia dan Sekjen M. Sarmuji, masih samar karena belum kelihatan wujudnya.
Di sisi lain, Arifin Sunusi menjadi kader pertama yang secara terang-terangan menyatakan akan ikut serta. Namun pernyataan Arifin yang dikirim ke Kaidah.ID pada Senin, 18 Agustus 2025) malam, dipandang sebelah mata oleh sebagian pengurus.
“Tidak serius,” kata mereka, menilai Arifin hanya sekadar mencari panggung.
Pertanyaan yang kini mencuat: siapa yang benar-benar siap menghadang kencangnya arus Mohammad Arus Abdul Karim?
Mohammad Arus Abdul Karim yang juga Ketua DPRD Provinsi Sulteng itu, saat ini berada di posisi strategis. Ia punya pengalaman dua periode menakhodai Golkar Sulteng, membangun jaringan, sekaligus mengendalikan struktur organisasi. Keunggulan utamanya jelas: pengaruh di DPP.
Meski aturan partai membatasi jabatan ketua maksimal dua periode, Arus tengah berjuang melobi pusat agar diberikan diskresi khusus. Jika diskresi turun, praktis Arus akan tampil dengan posisi tawar jauh lebih tinggi dibanding kandidat lain.
Namun, di sisi lain, kejenuhan di tubuh internal Golkar tidak bisa diabaikan. Sejumlah kader menilai Golkar Sulteng butuh wajah baru, energi baru, dan cara pandang berbeda untuk mengembalikan kejayaan partai di pemilu mendatang. Inilah celah yang coba dimanfaatkan penantang.
SIAPA SAJA YANG BISA JADI PENANTANG ARUS?
1. Mohamad Irwan Lapatta: Basis Kosgoro dan Reputasi Birokrat
Nama Mohamad Irwan Lapatta, mantan Bupati Sigi, masuk sebagai penantang potensial. Ia kini menjabat Ketua DPD Golkar Kabupaten Sigi sekaligus Ketua PDK Kosgoro 1957 Provinsi Sulteng.
Kosgoro adalah salah satu organisasi pendiri (KINO) Golkar yang punya akar sejarah panjang dan pengaruh struktural. Dengan memegang kepemimpinan Kosgoro, Irwan punya modal organisasi untuk menggalang kekuatan dari tingkat kabupaten/kota.
Ditambah rekam jejak sebagai bupati dua periode, Irwan punya narasi kuat: pengalaman birokrasi dan organisasi. Para pendukungnya menilai, ia figur segar yang bisa melepaskan Golkar Sulteng dari ketergantungan pada satu figur semata.
2. Imelda Liliana Muhidin: Dukungan Keluarga Besar dan Restu Pusat
Di Palu, sosok Imelda Liliana Muhidin juga mendapat sorotan tajam. Bendahara Umum DPD Golkar Sulteng, sekaligus Wakil Wali Kota Palu ini bukan sekadar politisi muda. Ia adalah putri dari Muhidin Mohamad Said, tokoh senior Golkar yang kini duduk sebagai Korwil Sulawesi DPP Golkar dan menjabat Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI.
Nama besar Muhidin adalah kartu truf Imelda. DPP Golkar diperkirakan tak akan menutup mata pada keberadaan tokoh ini. Jika restu politik mengalir dari pusat, Imelda bisa dengan mudah melangkah. Apalagi, sebagai perempuan, ia bisa membawa narasi pembaruan sekaligus keterwakilan gender yang belakangan sangat diperhatikan DPP.
3. Erwin Burase: Basis Kuat Parigi Moutong
Tak bisa diabaikan pula sosok Erwin Burase. Jejaknya panjang: tiga periode anggota DPRD Sulteng, kini menjabat Bupati Parigi Moutong. Basis politiknya jelas: Parigi Moutong, salah satu daerah dengan jumlah suara signifikan di Sulteng.
Kekuatan Erwin terletak pada jaringan politik daerah. Ia bukan sekadar nama yang muncul menjelang Musda, melainkan punya loyalis nyata yang bisa digerakkan. Jika ia memutuskan maju, peta kekuatan akan makin rumit, karena Erwin bisa menjadi jembatan antara kelompok kader lama dan generasi baru.
4. Amiruddin Tamoreka: Kuda Hitam dari Timur
Dari Banggai, ada Amiruddin Tamoreka, bupati dua periode yang berhasil mematahkan mitos “kursi bupati Banggai hanya satu periode.” Keberhasilan politiknya di tingkat lokal membuktikan kemampuannya membangun mesin politik dan merawat dukungan rakyat.
Amiruddin dipandang sebagai kuda hitam. Ia mungkin tidak sekuat Arus dalam lobi pusat, atau sebesar Imelda dalam dukungan keluarga, tetapi rekam jejak mematahkan mitos politik di Banggai menjadikannya figur yang berbahaya.
PETA KEKUATAN: PUSAT VS DAERAH, STRUKTUR VS BASIS
Dari nama-nama yang muncul, terlihat jelas peta kekuatan mulai terbentuk:
- Mohammad Arus Abdul Karim → DPP menjadi sandaran utama. Jika diskresi diberikan, posisinya tetap paling kuat.
- Imelda Liliana Muhidin → Restu keluarga besar dan DPP, terutama lewat pengaruh ayahnya, bisa menjadikannya lawan serius.
- Irwan Lapatta → Organisasi sayap (Kosgoro) dan pengalaman birokrasi, punya jaringan di daerah.
- Erwin Burase → Basis daerah, kuat di tingkat akar rumput.
- Amiruddin Tamoreka → Prestasi dua periode Banggai, bisa jadi kuda hitam dengan strategi lokal yang tak terduga.
Peta ini memperlihatkan bahwa Musda XI Golkar Sulteng bukan sekadar pertarungan figur, melainkan juga pertarungan jalur kekuatan:
- Diskresi DPP vs Aspirasi daerah.
- Kekuatan organisasi sayap vs jaringan birokrat lokal.
- Restu keluarga besar vs pengalaman lapangan.
BABAK BARU GOLKAR SULTENG
Musda XI Golkar Sulteng 24 Agustus mendatang berpotensi menjadi yang paling panas dalam dua dekade terakhir.
Jika Arus berhasil mengantongi diskresi, ia masih menjadi favorit. Namun, jika diskresi tak turun, pertarungan terbuka lebar, dan nama-nama seperti Imelda, Irwan, Erwin, hingga Amiruddin akan saling sikut.
Satu hal pasti: Musda kali ini bukan sekadar memilih ketua, tetapi menentukan arah baru Golkar Sulteng, apakah tetap bertahan dengan arus lama, atau memberi ruang bagi gelombang baru yang ingin membawa warna berbeda.
SIMULASI SKENARIO MUSDA XI GOLKAR SULTENG
- Skenario 1: Diskresi Turun untuk Mohammad Arus Abdul Karim
Jika DPP Golkar memberikan diskresi khusus bagi Mohammad Arus Abdul Karim, maka jalannya Musda praktis akan berat sebelah. Arus akan tampil sebagai kandidat dominan dengan legitimasi pusat.
Dalam skenario ini, lawan-lawannya hanya punya dua pilihan:
- Bergabung mendukung Arus, demi menjaga konsolidasi partai, atau
- 2. Tetap maju sebagai penantang simbolik, meski peluang menang sangat tipis.
Namun, dominasi Arus bukan tanpa risiko. Kader di daerah yang menginginkan penyegaran bisa kecewa, sehingga rawan memunculkan friksi. DPP perlu memastikan jika Arus kembali memimpin, ia mampu merangkul dan mengakomodasi kader baru agar Golkar tidak pecah pasca-Musda.
- Skenario 2: Diskresi Tidak Turun**
Jika DPP tidak mengeluarkan diskresi, Arus otomatis gugur dari gelanggang. Inilah skenario yang paling membuka ruang pertarungan keras.
Dalam kondisi ini, peta pertarungan diperkirakan akan bergeser ke adu pengaruh antara Imelda Liliana Muhidin dan Mohamad Irwan Lapatta.
Imelda akan menjadi unggulan, karena dukungan ayahnya di DPP (Muhidin Mohamad Said) yang punya posisi penting. Ia bisa membawa dukungan struktural partai, serta narasi regenerasi dan keterwakilan perempuan.
Sedangkan Irwan punya keunggulan sebagai representasi daerah dan pengendali Kosgoro. Jika ia mampu mengonsolidasikan suara kabupaten/kota melalui jaringan organisasi KINO, peluangnya terbuka lebar.
Di sisi lain, Erwin Burase dan Amiruddin Tamoreka bisa menjadi king maker. Keduanya punya basis daerah yang kuat, namun belum tentu cukup untuk menang sendiri. Dengan demikian, arah dukungan mereka bisa menjadi penentu siapa yang akan melenggang sebagai ketua.
- Skenario 3: Jika DPP Condong ke Imelda Liliana Muhidin
Jika DPP Golkar terang-terangan menunjukkan keberpihakan pada Imelda, pertarungan akan berubah drastis.
Dukungan pusat akan mendorong sebagian besar pemilik suara di Musda untuk beralih ke kubu Imelda. Apalagi, posisinya sebagai Bendahara Golkar Sulteng memberi akses terhadap logistik politik, faktor krusial dalam Musda.
Namun, skenario ini juga berpotensi menimbulkan perlawanan diam-diam dari daerah. Figur seperti Irwan, Erwin, dan Amiruddin bisa bersatu menantang “kandidat pusat” jika merasa kepentingan daerah diabaikan. Hasilnya bisa pertarungan sengit antara kekuatan pusat dan basis daerah.
- Skenario 4: Pertarungan Multi-Kandidat Tanpa Dominasi
Jika tidak ada kandidat yang benar-benar dominan, Musda bisa berubah menjadi arena tawar-menawar politik.
Dalam kondisi ini, suara akan terpecah:
- Imelda kuat di dukungan DPP,
- Irwan solid lewat Kosgoro,
- Erwin berbekal Parigi Moutong,
- Amiruddin mengandalkan Banggai.
Pertarungan seperti ini biasanya menghasilkan dua kemungkinan:
- Kompromi politik → muncul figur ketua hasil kesepakatan, bukan hasil suara murni.
- Kejutan kuda hitam → kandidat yang awalnya dianggap lemah justru keluar sebagai pemenang, karena piawai membangun aliansi menit terakhir.
Pada akhirnya, Musda XI Golkar Sulteng bukan hanya panggung perebutan kursi ketua, melainkan juga ujian bagi Golkar sendiri: apakah ia mampu menjaga soliditas di tengah dinamika arus lama dan gelombang baru, atau justru terjebak dalam tarik-menarik kepentingan yang bisa merobek jaring persatuan.
Satu hal yang pasti, siapa pun yang keluar sebagai pemenang pada 24 Agustus nanti, dialah yang akan menulis babak baru perjalanan Golkar Sulteng, apakah sebagai partai yang terus berulang di lingkaran lama, atau partai yang berani membuka jalan bagi masa depan yang lebih segar. Dan Bahlil Lahadalia sudah tahu ke siapa amanah akan diserahkan. (*)
Wallahu A’lam

Tinggalkan Balasan