INI TENTANG PETA JALAN PERHUTANAN SOSIAL – Hutan bukan lagi sekadar bentangan hijau di peta Sulawesi Tengah. Ia adalah denyut ekonomi, ruang hidup, sekaligus harapan masa depan. Karena itulah, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah meluncurkan Roadmap atau Peta Jalan Perhutanan Sosial 2025-2029.
Sebuah terobosan dari Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, Muhammad Neng, yang diyakini mampu mengubah cara masyarakat mengelola hutan: lebih adil, lebih lestari, dan lebih menguntungkan rakyat kecil.
Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Reny Lamadjido meluncurkan Proyek Perubahan (Proper) Transformasi Perhutanan Sosial yang dicetuskan Kadis Kehutanan Sulteng ini, pada Kamis, 4 September 2025.
Menurut Wagub Reny Lamadjido proper tersebut adalah terobosan penting guna mewujudkan pengelolaan hutan berkeadilan, lestari dan berkelanjutan di Sulteng.
“Terima kasih Pak Kadis yang sudah merintis peta jalan ini untuk kemajuan Sulawesi Tengah,” kata Wagub.
Peluncuran peta jalan perhutanan Sulawesi Tengah ini, dipandang sebagai tonggak penting, karena sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, dan agenda Asta Cita Pemerintah, terutama dalam peningkatan kualitas hidup manusia, kemandirian ekonomi, dan ketahanan ekologi.
“Transformasi perhutanan sosial harus memberi manfaat langsung bagi masyarakat, sekaligus menjaga kelestarian hutan kita,” tegas Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid.
CAPAIAN SIGNIFIKAN
Sejak 2016 hingga 2025, Sulawesi Tengah telah mencatatkan capaian signifikan. Sebanyak 218 izin perhutanan sosial telah diterbitkan, mencakup 134 ribu hektare hutan yang dikelola oleh puluhan ribu kepala keluarga di 13 kabupaten dan kota.
Kabupaten Sigi menjadi daerah dengan izin terluas, yakni 26.712 hektare, sehingga ditetapkan sebagai kabupaten prioritas penguatan.
Skema yang berjalan beragam, mulai dari Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, hingga Kemitraan Kehutanan.
Legalitas itu kemudian berkembang menjadi aktivitas ekonomi nyata. Data Dinas Kehutanan mencatat, jagung menjadi komoditas unggulan dengan nilai transaksi Rp4,61 miliar, disusul kakao Rp2,84 miliar, dan rotan Rp1,76 miliar. Secara keseluruhan, nilai transaksi hasil hutan bukan kayu pada 2023 menembus Rp43 miliar.
Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah, Muhammad Neng, optimistis roadmap akan mendorong pertumbuhan lebih tinggi, meski diakui masih banyak potensi yang bisa dioptimalkan.
“Dari 218 kelompok perhutanan sosial dengan 357 unit usaha, baru sekitar 40 persen yang melaporkan nilai ekonomi konservasinya. Potensinya jauh lebih besar dari yang terlihat saat ini,” kata Muhammad Neng.
EMPAT FASE
Peta Jalan Perhutanan Sosial Provinsi Sulawesi Tengah ini, dirancang sebagai proses bertahap yang terbagi ke dalam empat fase.
Pada 2025-2026, fokus diarahkan pada percepatan izin dan kesiapan daerah dengan target 100 ribu hektare izin baru serta pembentukan 13 tim fasilitator di kabupaten.
Tahun 2026-2027, kelompok tani diharapkan bertransformasi menjadi koperasi berbadan hukum, dengan mendorong kepemimpinan perempuan hingga 30 persen, serta memperkuat program rehabilitasi berbasis hasil hutan bukan kayu.
Tahun 2027-2028, roadmap menargetkan penanaman lima juta bibit, tambahan 50 ribu hektare rehabilitasi, dan penyelenggaraan Festival Perhutanan Sosial Sulawesi Tengah.
Puncaknya, pada 2028-2029, dirancang pembentukan 10 klaster ekonomi hijau, pembukaan akses pasar ekspor, sekaligus kontribusi nyata terhadap target NDC berupa penurunan deforestasi 20 persen dan penyerapan karbon setara 300 ribu ton CO2e.
Muhammad Neng menjelaskan, roadmap atau peta jalan ini juga menekankan pentingnya transformasi dalam tiga aspek utama: kelembagaan, tata kelola, dan ekonomi.
Dari sisi kelembagaan, kelompok tani diarahkan menjadi koperasi yang kuat dan fungsional dengan ruang kepemimpinan perempuan yang lebih besar.
Dari tata kelola, peran Kelompok Kerja Perhutanan Sosial (Pokja PS) diposisikan sebagai tulang punggung, dengan integrasi lintas sektor dan pemantauan berbasis data.
Sementara dari sisi ekonomi, fokus diarahkan pada perubahan dari usaha subsisten menuju usaha produktif, inklusif, dan berkelanjutan, dengan dukungan e-commerce, pameran, hingga kemitraan swasta.
PERAN AKTOR DALAM PENDAMPINGAN
Kerja besar ini, kata Kadishut Muhammad Neng, tentu tidak mungkin berjalan sendiri. Sejumlah organisasi ikut turun tangan memberi pendampingan, mulai dari Yayasan KOMIU yang memetakan potensi rotan, Karsa Institute dengan pelatihan kopi dan kerajinan rotan, hingga Relawan Orang dan Hutan (ROA) yang menyusun rencana kerja jangka panjang.
Kemudian YPAL melatih kepemimpinan dan bisnis bagi ketua kelompok, Sikola Mombine membantu pemasaran produk, WALHI membuka sekolah lapang agroforestry, dan BRWA menandai batas wilayah adat.
“Kolaborasi ini menjadi kunci, agar masyarakat tidak berjalan sendiri,” kata Muhammad Neng.
Wakil Gubernur Sulawesi Tengah, Reny Lamadjido, menyebut roadmap ini sebagai terobosan penting yang sejalan dengan program Berani Makmur.
“Saya yakin kelompok tani hutan bisa mengembangkan usaha produktif berbasis hasil hutan bukan kayu. Ini bukan hanya soal hutan, tapi juga kesejahteraan,” katanya.
Gubernur Anwar Hafid juga bilang, hutan bukan sekadar sumber daya, melainkan aset ekonomi rakyat.
“Proper ini sejalan dengan 9 Program Berani, khususnya Berani Makmur. Hutan harus memberi manfaat nyata bagi masyarakat,” ucap gubernur.
Muhammad Neng, penggagas Proyek Perubahan (Proper) Transformasi Perhutanan Sosial, menutup dengan pesan yang menegaskan arah besar roadmap ini.
“Kami ingin masyarakat tidak hanya sebagai pengelola hutan, tapi juga pelaku usaha mandiri dan berkelanjutan,” katanya.
Dari peta jalan perhutanan sosial ini, Muhammad Neng ingin menegaskan, bahwa Sulawesi Tengah punya optimisme menjadi pionir nasional dalam transformasi perhutanan sosial.
Peta ini jalan ini dapat menjai sebuah model pemberdayaan yang menjaga hutan tetap lestari, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan mengangkat kesejahteraan masyarakat.
Dan pada akhirnya, roadmap ini bukan sekadar dokumen lima tahun. Ia adalah janji bahwa hutan Sulawesi Tengah tidak lagi dilihat sebagai lahan kosong, melainkan rumah bagi kesejahteraan rakyat.
Bila kolaborasi terus terjaga, maka di antara rimbun pepohonan itu akan tumbuh harapan baru: ekonomi hijau yang menyejahterakan sekaligus melestarikan bumi. (*)
Penulis: Ruslan Sangadji (Moch. Subarkah ikut berkontribusi dalam artikel ini)


Tinggalkan Balasan