Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID
DI ERA MEDIA SOSIAL, panggung bukan hanya dimiliki penyanyi, aktor, atau bintang film. Kini, setiap orang punya panggungnya sendiri, sebuah layar persegi panjang yang bisa menyiarkan apa saja, mulai dari sarapan sederhana di warung pojok hingga pesta mewah di hotel berbintang.
Namun, dari semua tontonan yang berseliweran di timeline, ada satu pertunjukan yang sering bikin mata mengernyit sekaligus lidah bergumam sinis: flexing pejabat dan selebritas.
Flexing, kata gaul untuk pamer, sejatinya bukanlah hal baru. Di masa lampau, para raja membangun istana megah, mengenakan perhiasan emas berlapis, atau menggelar pesta tujuh hari tujuh malam sebagai tanda kekuasaan.
Bedanya, dulu flexing punya jarak sakral, hanya bisa ditatap dari jauh, diceritakan dari mulut ke mulut. Sekarang, flexing pejabat atau selebritas bisa masuk ke layar ponsel kita dalam hitungan detik, lengkap dengan caption yang seolah rendah hati dan agamis: “Nikmat mana lagi yang kau dustakan” sambil memosting foto atau video sedang duduk di kursi jet pribadi.
Ironisnya, flexing pejabat sering lebih bikin gaduh. Bayangkan seorang pejabat publik yang gajinya resmi hanya puluhan juta, tapi gaya hidupnya menandingi sultan minyak: arloji puluhan miliar, tas branded istri yang bisa menebus biaya sekolah ribuan anak, atau pesta ulang tahun anak yang lebih heboh daripada konser internasional.
Publik, yang sehari-hari berjibaku dengan harga beras dan minyak goreng yang mahal, otomatis bertanya-tanya: uang itu datang dari mana? Kemewahan itu asalnya dari mana? walaupun kekayaan itu juga, karena memang sudah kadar yang ditetapkan Sang Maha Kuasa. Atau juga, mungkin saja mereka tak bermaksud pamer. Tapi publik tak mau ambil pusing soal takdir setiap orang. Netizen tak mau peduli dengan niat seseorang.
Selebritas pun tak ketinggalan. Dunia hiburan memang penuh kilau, tapi di balik layar, tak semua seindah feed Instagram. Ada yang rela meminjam barang branded hanya demi satu foto, ada yang membeli tas mewah dengan cicilan lebih panjang dari kredit rumah.
Flexing menjadi kewajiban tak tertulis: kalau tak tampil glamor, takut dianggap “turun kelas” atau kehilangan kontrak iklan. Akhirnya, persaingan flexing melahirkan lingkaran setan: siapa yang lebih glamor, siapa yang lebih eksklusif, siapa yang lebih mampu membuat publik percaya bahwa hidup mereka hanyalah pesta tanpa henti.
Fenomena ini bukan sekadar soal iri hati masyarakat kecil yang menonton dari pinggir panggung. Flexing pejabat dan selebritas adalah soal etika dan representasi.
Pejabat, dengan segala atribut jabatannya, sejatinya membawa wajah negara. Ketika ia memamerkan kemewahan yang tak sejalan dengan akuntabilitas, publik merasa dikhianati.
Selebritas, dengan jutaan pengikut muda, membawa pengaruh kultural. Ketika yang dipamerkan hanya tas, mobil, dan pesta, generasi muda pun belajar bahwa nilai diri ditentukan oleh harga barang yang dipakai.
Namun, ada pula sisi tragis dari flexing. Di balik senyum lebar dan caption penuh doa, sering tersembunyi kegelisahan. Flexing adalah topeng: cara menutupi kekosongan batin, luka lama, atau rasa tak aman.
Seorang selebritas mungkin memamerkan cincin berlian, padahal di balik layar, ia sedang berjuang mempertahankan rumah tangganya yang rapuh.
Seorang pejabat mungkin pamer liburan ke Eropa, padahal ia tengah dikejar bayang-bayang kasus korupsi.
Flexing, dengan demikian, bukan hanya tontonan, melainkan juga pengakuan tak langsung bahwa kebahagiaan mereka rapuh, perlu dipertontonkan agar terasa nyata.
Masyarakat pun terbelah. Ada yang memuja, menekan tombol “like” sambil berdoa suatu hari bisa punya hidup semewah itu. Ada pula yang mencibir, menuliskan komentar pedas: “Ingat rakyat miskin, Pak!” atau “Cicilan rumah gue belum lunas, Mbak, stop pamer.”
Flexing menjadi bahan gosip sekaligus pengikat imajiner: yang di atas memamerkan, yang di bawah menonton, saling terhubung dalam lingkaran ilusi.
Pertanyaannya: sampai kapan kita membiarkan diri terpesona atau tersulut amarah oleh flexing para pejabat dan selebritas?
Mungkin jawabannya ada pada kesadaran kolektif bahwa kemewahan bukanlah tolok ukur hidup. Bahwa martabat tak ditentukan oleh harga tas atau mobil, melainkan oleh integritas, kerja keras, dan kontribusi nyata.
Flexing mungkin akan selalu ada, selama ada manusia yang butuh pengakuan. Tetapi publik berhak memilih: apakah ingin terus menonton pertunjukan kilau semu, atau beralih ke panggung lain, panggung yang lebih jujur, lebih membumi, lebih manusiawi.
GANGGUAN PSIKOLOGIS
Mengutip Kompas.com (6/09/2025), Psikolog Klinis Maria Fionna Callista menjelaskan, flexing sebenarnya manusiawi selama dilakukan dengan kontrol diri. Namun, ketika sudah berubah menjadi kebutuhan yang terus-menerus untuk mendapatkan validasi, maka seseorang perlu berhati-hati.
“Bisa jadi kalau seseorang melakukannya secara berlebihan. Sebab, selama kita memiliki kontrol diri, sebenarnya flexing ini masih bisa dikatakan sebagai hal yang manusiawi,” ungkap Fionna.
Flexing yang awalnya hanya untuk berbagi pencapaian bisa berubah menjadi kebiasaan yang berlebihan.
Menurut Fionna, kondisi ini biasanya ditandai dengan rasa gelisah dan dorongan kuat untuk selalu mendapat pengakuan dari orang lain.
“Kalau berlebihan sampai tidak bisa mengontrol perilaku tersebut, itu seharusnya sudah mulai hati-hati. Apalagi karena ada perasaan gelisah dan bergantung pada validasi orang lain,” jelasnya.
Perasaan ini bisa membuat seseorang merasa tidak berharga ketika unggahannya tidak mendapatkan respon yang diharapkan.
Lebih jauh, ia menegaskan, perilaku flexing yang terus-menerus dapat memunculkan gejala gangguan psikologis.
“Ketika dia tidak bisa mendapatkan validasi dari orang lain, dia akan insecure, rendah diri, dan jadi mudah cemas. Itu sebenarnya sudah gejala awal adanya gangguan perilaku,” terangnya.
Rasa cemas ini bisa memengaruhi bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri. Mereka bisa merasa tidak cukup baik tanpa pengakuan orang lain, sehingga menimbulkan tekanan mental yang berkelanjutan.
Pada akhirnya, flexing pejabat dan selebritas hanyalah cermin retak: ia memantulkan cahaya gemerlap, tapi sekaligus memperlihatkan retakan yang tak bisa disembunyikan. Dan kita, sebagai penonton, perlu belajar melihat retakan itu, agar tidak terjebak dalam ilusi kilau yang menyesatkan. (*)
Wallahu a’lam

Tinggalkan Balasan