Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID

DI BALIK AKTIVITAS PABRIK dan hasil tambang nikel yang menjadi magnet investasi dunia, ada cerita lain yang tumbuh di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Cerita tentang keberanian, kesempatan, dan wajah baru dunia kerja yang lebih ramah bagi semua orang.

Hingga akhir 2024, sebanyak 47 penyandang disabilitas resmi menjadi bagian dari keluarga besar IMIP. Angka itu mungkin terdengar kecil, jika dibandingkan dengan total 86 ribu lebih tenaga kerja, yang kini menggantungkan hidup di kawasan industri raksasa ini.

Namun, bagi mereka yang sebelumnya kerap tersisih dari bursa kerja, langkah ini adalah pintu besar menuju kemandirian.

“Kesempatan yang sama bagi semua orang adalah prinsip dasar kami. Kami ingin setiap orang merasa punya ruang untuk berkembang di sini,” kata Achmanto Mendatu, Head of Human Resources PT IMIP, Selasa, 9 September 2025.

Langkah IMIP itu bukan sekadar pemenuhan kewajiban hukum. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2020, memang mengamanatkan perusahaan swasta mempekerjakan sedikitnya 1 persen penyandang disabilitas.

Namun IMIP melangkah lebih jauh. Mereka menyiapkan fasilitas toilet khusus, area parkir, penyesuaian jam kerja, hingga program pelatihan dan sertifikasi resmi agar pekerja disabilitas mampu menatap masa depan dengan percaya diri.

“Ini bukan charity. Keberagaman adalah kekuatan. Dari situ lahir daya saing berkelanjutan,” tutur Achmanto.

MAGNET LAPANGAN KERJA

IMIP kini menjelma menjadi ladang besar penyerapan tenaga kerja di Sulawesi Tengah. Hingga 1 September 2025, jumlah karyawan mencapai 86.394 orang. Dari angka itu, 92 persen berasal dari Pulau Sulawesi, dengan 31 persen khusus dari Sulawesi Tengah. Kabupaten Morowali sendiri menyumbang lebih dari separuhnya.

“Setiap hari ada sekitar 200 sampai 500 orang yang datang interview. Itu menunjukkan antusiasme luar biasa masyarakat,” kata Dedy Kurniawan, Head of Media Relations IMIP, yang sebelumnya dikenal sebagai jurnalis Tempo.

Dalam lima tahun terakhir, grafik pertumbuhan tenaga kerja di kawasan ini terus menanjak. Dari 35.592 orang pada 2020, naik menjadi 51.542 (2021), lalu 68.466 (2022), 74.350 (2023), hingga 83.000 orang pada 2024.

Aktivitas karyawan di kawasan IMIP | Foto: Humas IMIP

Angka itu tak hanya menggambarkan ekspansi industri nikel, tetapi juga harapan baru bagi ribuan keluarga, yang dulu menggantungkan hidup dari pekerjaan serabutan.

Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Tengah mencatat, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Februari 2025 turun menjadi 3,02 persen, dari 3,15 persen setahun sebelumnya.

Angka itu menempatkan Sulteng sebagai provinsi dengan pengangguran terendah ketiga di Indonesia. Kontribusi industri pengolahan, termasuk nikel, jelas terlihat.

Dedy Kurniawan menyebut, visi IMIP sejak awal adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

“Banyak karyawan yang dulunya serabutan, sekarang bisa menyekolahkan anak lebih tinggi, bisa punya rumah, bahkan bisa bantu orang tua mereka. Itu yang membuat kami bangga,” ujarnya.

LEBIH DARI NIKEL

Cerita IMIP bukan hanya tentang tambang, industri, dan ekonomi. Lebih dari itu, ini adalah kisah tentang manusia. Tentang para penyandang disabilitas yang kini memiliki panggung baru. Tentang ribuan keluarga yang bisa bangun rumah sederhana di kampung halamannya. Tentang anak-anak yang bisa bercita-cita lebih tinggi karena ayah atau ibunya kini punya penghasilan tetap.

Di tengah sorotan dunia pada industri nikel Indonesia, IMIP memilih menunjukkan wajah lain: wajah inklusif, yang percaya bahwa nilai sebuah perusahaan, tak hanya diukur dari produksi, tetapi juga dari seberapa besar ia memberi arti bagi manusia dan lingkungannya.

Cerita ini membuktikan, ketika industri membuka diri bagi semua, maka yang lahir bukan hanya pertumbuhan ekonomi, melainkan juga pertumbuhan harapan. Dari Morowali, cahaya itu menyebar: bahwa masa depan kerja di Indonesia bisa inklusif, adil, dan memberi arti bagi setiap orang. (*)