Oleh; Ruslan Sangadji / Kaidah.ID

SEKARANG adalah bulan penuh cahaya, saat umat Islam di berbagai penjuru Indonesia merayakan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di kampung-kampung, masjid, mushalla, hingga majelis taklim, gema shalawat dan kisah kelahiran Nabi disambut dengan penuh suka cita.

Tradisi ini bukan sekadar peringatan seremonial, melainkan momentum spiritual yang meneguhkan cinta kepada Rasulullah sekaligus memperkuat ikatan sosial umat.

Inilah wajah Islam Indonesia: hangat, penuh syukur, dan melekat dalam kebudayaan lokal. Tradisi maulid tidak hanya perayaan spiritual, tetapi juga perekat sosial. Ia mengikat warga dalam kebersamaan, menghadirkan rasa cinta kepada Nabi, sekaligus meneguhkan jati diri Islam Indonesia yang ramah dan penuh kasih.

Namun, pada saat yang sama, ada arus lain yang berusaha menyingkirkan semua itu: paham Salafi. Mereka datang dengan simbol-simbol kesalehan lahiriah — celana cingkrang, jenggot panjang, cadar hitam, gaya tutur kaku, jidat hitam — seakan membawa “kemurnian” Islam.

Tetapi di balik itu, terdapat ideologi yang keras, tekstual, dan menolak kompromi terhadap keragaman tradisi yang telah ratusan tahun dirawat ulama Nusantara.

Bagi mereka, amalan seperti tahlilan, yasinan, maulid, doa selamatan, bahkan shalawat, adalah bid’ah. Nama-nama besar seperti Imam al-Ghazali atau Ibnu Arabi dengan mudah dicap sesat. Kitab Ihya’ Ulumuddin* dan Qashidah Burdah yang selama berabad-abad membimbing umat menuju akhlak mulia, dianggap menyimpang.

Bahaya lebih besar muncul ketika pandangan sempit ini berbenturan dengan kehidupan berbangsa. Ideologi Salafi sering bertabrakan dengan Pancasila, cenderung menempatkan negara sebagai lawan agama, dan mengklaim kebenaran mutlak hanya milik tafsir mereka. Dari sinilah lahir benih intoleransi, eksklusivisme, bahkan sikap menutup pintu dialog.

Dan faktanya, mereka tidak hanya berteori. Mereka bergerak nyata — menyusup ke ruang-ruang dakwah, bahkan merebut masjid-masjid yang sebelumnya menjadi milik dan pusat dakwah ormas besar Islam Indonesia.

JEJAK INFILTRASI SALAFI

Modus mereka hampir selalu sama: datang dengan ramah, menawarkan diri mengisi kajian, mengajarkan “pemurnian agama”. Lama-lama jamaah dipengaruhi, tradisi dipertentangkan, otoritas lama dilemahkan. Hingga akhirnya, masjid atau mushalla itu berubah wajah.

Beberapa contoh nyata menunjukkan betapa serius persoalan ini:

  1. Masjid Muhammadiyah di Watulimo, Trenggalek (Jawa Timur). Dua masjid wakaf Muhammadiyah di daerah ini kini dikendalikan kelompok Salafi. Jamaah setempat, yang lemah dalam kesadaran organisasi, pelan-pelan diarahkan mengikuti ideologi mereka. Bahkan, ada upaya merebut sertifikat tanah wakaf.
  2. Inventarisasi Muhammadiyah Jawa Timur. Majelis Tabligh Muhammadiyah mencatat ada sejumlah masjid dan musala persyarikatan yang sudah “terpapar” Salafi. Prosesnya lewat penguasaan takmir dan dominasi kajian di ruang dakwah.
  3. Masjid-masjid pemerintah. Penelitian menyebutkan, ada aktivis Salafi/Wahabi yang masuk ke Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) di kantor-kantor pemerintahan. Dengan cara ini, mereka bisa mengubah corak dakwah dan ibadah di masjid negara.
  4. Masjid NU di Makassar. Sejumlah tokoh NU menyebutkan, ada masjid yang semula dibangun dan diramaikan oleh warga NU, kini tradisinya hilang digantikan corak Salafi-Wahabi.
  5. Mushalla di Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah. Di Palu, sebuah mushalla di kantor Dinas Kehutanan kini dikuasai oleh kelompok Salafi. Pegawai yang sebelumnya terbiasa dengan suasana ibadah inklusif dan tradisi doa berjamaah, perlahan kehilangan ruang.

Kajian rutin yang diadakan mulai menyingkirkan praktik tahlilan dan doa selamatan. Padahal mushalla itu didirikan untuk seluruh pegawai, kini lebih condong eksklusif.

Di lingkungan kampus, persoalan infiltrasi paham Salafi dan HTI juga kerap muncul ke permukaan. Salah satu kasus yang sempat ramai adalah ketika di Universitas Gadjah Mada (UGM) muncul nama juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto, dalam daftar penceramah Ramadhan di Masjid Kampus UGM.

Kehadiran tokoh yang lekat dengan organisasi terlarang itu memicu polemik, hingga akhirnya pihak universitas membatalkan undangan tersebut dan mengganti dengan penceramah lain.

Langkah itu diambil untuk meredam keresahan dan mencegah kampus menjadi ruang penyebaran ideologi transnasional.

Situasi serupa juga terjadi di Universitas Indonesia (UI), khususnya di Masjid Ukhuwah Islamiyah. Beberapa alumni dan mantan aktivis dakwah menyebutkan, masjid kebanggaan mahasiswa UI itu kini kian sepi dari aktivitas keagamaan mahasiswa.

Kajian reguler yang dulu ramai mulai berkurang, akses ke pengurus masjid menjadi lebih terbatas, bahkan sejumlah kelompok mahasiswa merasa kesulitan mendapatkan ruang dakwah.

Muncul dugaan adanya “sterilisasi” aktivitas, di mana ruang-ruang keagamaan mahasiswa yang dahulu cair kini menjadi lebih terkunci.

Di Yogyakarta, geliat dakwah Salafi juga tampak jelas di sekitar kampus-kampus besar seperti UNY dan UGM. Melalui masjid-masjid sekitar kampus, kelompok Salafi menawarkan gagasan “pemurnian Islam” yang tampak sederhana, namun perlahan mampu menarik minat mahasiswa.

Tidak sedikit mahasiswa yang sebelumnya apatis terhadap kegiatan keagamaan, akhirnya ikut dalam lingkaran dakwah Salafi. Dengan cara ini, kampus menjadi ladang subur penyemaian ideologi yang keras dan tekstual.

Menyadari ancaman ini, pimpinan UGM menegaskan komitmennya untuk menangkal paham ekstrem di lingkungan kampus. Rektor UGM bahkan menyatakan bahwa dosen-dosen akan dilibatkan secara aktif dalam mendampingi kegiatan keagamaan mahasiswa.

Tujuannya jelas: agar kajian, materi, maupun penceramah yang hadir tetap dalam koridor moderasi dan tidak dimanfaatkan untuk menyusupkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.

Meski demikian, penting dicatat bahwa tidak semua laporan terkait masjid kampus benar-benar menunjukkan adanya “pengambilalihan” struktural. Banyak klaim masih bersifat indikatif, berupa dugaan pengaruh dakwah, pilihan penceramah, atau kebijakan internal pengurus yang dianggap condong ke arah tertentu.

Bahkan, sejumlah pihak kampus justru menyangkal tuduhan itu. Masjid Ukhuwah Islamiyah UI, misalnya, pernah menegaskan bahwa seluruh aktivitasnya berlandaskan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tetap berpijak pada Pancasila, serta berkomitmen menjaga nilai-nilai moderasi dalam beragama.

Narasi yang beredar di masyarakat kampus inilah, yang menunjukkan bahwa infiltrasi ideologi transnasional seperti Salafi dan HTI memang nyata dirasakan, meski bentuknya berbeda-beda: ada yang terang-terangan melalui figur penceramah, ada yang lebih halus lewat kajian mahasiswa, ada pula yang sekadar memunculkan kesan eksklusivitas dalam ruang dakwah.

Semua ini mengingatkan kita bahwa kampus—sebagai pusat pembentukan intelektual bangsa — tidak pernah steril dari tarik-menarik ideologi, dan perlu terus dijaga agar tetap menjadi ruang tumbuhnya Islam yang moderat dan rahmatan lil ‘alamin.

ANCAMAN BAGI PERSATUAN UMAT

Kasus-kasus itu membuktikan, strategi “menguasai rumah orang” yang dijalankan Salafi bukan isapan jempol. Mereka jarang membangun masjid baru, tetapi lebih sering menguasai infrastruktur yang sudah ada, dari masjid kampung hingga mushala kantor pemerintah.

Akibatnya jelas: gesekan sosial. Tradisi yang selama ini menyatukan umat, perlahan terkikis. Masyarakat dipaksa memilih: ikut model baru yang keras, atau dianggap “ahli bid’ah”. Perpecahan pun tak terhindarkan.

Mahfud MD sudah mengingatkan, NU dan Muhammadiyah harus menjaga masjid-masjidnya. Said Aqil Siraj menegaskan, Wahabi-Salafi adalah pintu masuk radikalisme. Islah Bahrawi bahkan menambahkan, dari sejumlah orang yang ditangkap karena terorisme, banyak di antaranya berasal dari lingkungan Salafi-Wahabi.

Peringatan ini sejalan dengan pengalaman Indonesia menghadapi gerakan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Meski berbeda metode, keduanya sama-sama membawa ideologi transnasional yang berlawanan dengan ruh Islam Indonesia. Jika Salafi menggerus tradisi keagamaan, maka HTI menggerus fondasi kebangsaan dengan menolak Pancasila dan mendorong ide khilafah.

Keduanya ibarat dua sisi mata uang: satu meniadakan tradisi, satu lagi meniadakan negara. Jika dibiarkan, keduanya bisa sama-sama melahirkan kegaduhan dan mengancam persatuan umat.

Pada akhirnya, perayaan Maulid Nabi adalah momentum untuk meneguhkan kembali jati diri Islam Indonesia: ramah, bukan marah; merangkul, bukan memukul; membangun, bukan merobohkan.

Islam di Indonesia terbukti mampu menyatukan keragaman etnis, budaya, dan bahasa. Ulama kita dahulu berhasil menanamkan Islam tanpa menyingkirkan kearifan lokal.

Karena itu, menjaga diri dari infiltrasi Salafi maupun ideologi transnasional seperti hizbut tahrir bukan hanya urusan teologi. Ia adalah bagian dari menjaga persatuan bangsa. Sebab ketika masjid kita direbut, atau tradisi kita dicabut, sejatinya yang dipertaruhkan bukan hanya tempat ibadah, melainkan ruh kebersamaan umat Islam Indonesia. (*)

Wallahu a’lam