“Ke depan, kami ingin memperluas cakupan dan meningkatkan kualitas pengajaran bahasa Indonesia bagi TKA agar hasilnya lebih efektif,” kata Sainan.
Menurutnya, belajar bahasa bukanlah kewajiban, melainkan kesempatan strategis. “Dengan menguasai bahasa, karyawan punya peluang karier lebih luas dan bisa membangun hubungan kerja yang lebih manusiawi dan produktif,” ujarnya.
Selain kelas rutin, berbagai kegiatan penunjang digelar: lomba cerdas cermat Mandarin, seminar budaya Tiongkok, hingga latihan kaligrafi Cina. Semua bertujuan menumbuhkan rasa percaya diri dan kebersamaan.
Bahasa, yang dulu menjadi pembatas, kini menjadi jembatan. Di Morowali, jembatan itu dibangun bukan dari baja atau nikel, melainkan dari kata-kata yang menyatukan dua bangsa dalam satu ruang kerja yang sama. (*)
Editor: Ruslan Sangadji


Tinggalkan Balasan