MOROWALI, KAIDAH.ID – Di ruang kelas sederhana di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), puluhan karyawan duduk tekun menirukan suara sang laoshi. “Ni hao,” ujar guru muda itu dengan pelafalan tegas.

Serentak, para peserta menjawab, “Ni hao!” Suara mereka menembus dinding kelas, menjadi gema yang membawa harapan baru, bahwa bahasa bisa menjadi jembatan antara dua dunia kerja yang berbeda: Indonesia dan Tiongkok.

Sejak program kelas bahasa dirintis pada 2022, ribuan tenaga kerja di kawasan industri raksasa itu, mulai menemukan cara baru memahami rekan kerja lintas negara.

Kelas bahasa Mandarin untuk karyawan Indonesia dimulai pada Mei 2022, sementara kelas bahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing asal Tiongkok dibuka sebulan lebih awal. Keduanya dikelola oleh Divisi Training Departemen HRD Tsingshan, salah satu tenant utama di kawasan IMIP.

Tujuan utamanya sederhana, tapi bermakna besar: memperlancar komunikasi, menumbuhkan saling pengertian, dan membuat kerja sama lintas budaya menjadi lebih manusiawi.

Semangat Belajar di Tengah Bisingnya Industri

Hingga September 2025, sudah ada sekitar 1.500 karyawan Indonesia yang mengikuti kelas bahasa Mandarin, dan lebih dari 2.100 tenaga kerja asal Tiongkok belajar bahasa Indonesia. Dua kali seminggu, selama empat jam, mereka belajar dengan semangat yang tak kalah dari mahasiswa di kampus.

“Semua murid di sini punya semangat belajar tinggi. Mereka mulai dari nol, lalu mengasah kemampuan lewat praktik langsung di lapangan,” tutur laoshi Julita, pengajar dari PT Zhao Hui Nickel (ZHN).

Setiap sesi dirancang aktif dan komunikatif. Para pengajar memperkenalkan pelafalan pinyin, menulis hanzi, hingga percakapan praktis di tempat kerja. Tidak ada jarak antara ruang kelas dan lapangan kerja, apa yang dipelajari langsung digunakan sehari-hari.

Salah satu peserta, Michen Christian Surentu (28), Wakil Foreman Safety di PT Qing Kota Metal Indonesia, merasakan perubahan nyata.

“Dulu saya sering kesulitan menyampaikan pesan kepada supervisor dari Tiongkok. Sekarang, setelah belajar, komunikasi jadi lebih lancar dan saya lebih percaya diri,” ujarnya tersenyum.

Bagi Wahid (32), Wakil Foreman di PT Tsingyao Elektrik Indonesia, kelas tatap muka menjadi momen penting dalam perjalanan profesionalnya.

“Belajar langsung jauh lebih efektif daripada belajar sendiri. Saya juga terbantu dengan fasilitas buku dan modul yang disediakan,” katanya.

Bahasa yang Mengubah Nasib

Di balik program ini, tersimpan peluang yang lebih besar. Bagi karyawan yang lulus ujian kemampuan bahasa Mandarin (Hanyu Shuiping Kaoshi atau HSK), perusahaan memberikan tunjangan skill bahasa, serta tambahan fasilitas komunikasi, transportasi, dan perumahan.

Menurut Sainan Sani, Wakil Manajer Divisi Training Departemen HRD Tsingshan, penghargaan tersebut adalah bentuk apresiasi terhadap karyawan yang mau berkembang.

“Semakin tinggi kemampuan bahasa seseorang, semakin besar pula kompensasi yang diterima. Ini bukan hanya soal uang, tapi juga tentang produktivitas dan efisiensi komunikasi,” jelasnya.

Tsingshan bahkan telah mengirim sekitar 300 karyawan Indonesia ke Tiongkok untuk memperdalam bahasa Mandarin di sejumlah kampus ternama seperti Universitas Wenzhou dan Universitas Sains dan Teknologi Beijing.

Sepulangnya, mereka diwajibkan mengabdi minimal tujuh tahun di perusahaan, menjadi penghubung budaya dan komunikasi di level manajemen.

Dua Arah, Satu Tujuan

Komitmen ini bukan hanya berlaku bagi karyawan lokal. Sejak awal investasi di IMIP, setiap tenaga kerja asal Tiongkok diwajibkan belajar bahasa Indonesia. Pembelajarannya disusun berdasarkan program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) dari Kemendikbudristek, agar lebih sistematis dan sesuai konteks kerja.

“Ke depan, kami ingin memperluas cakupan dan meningkatkan kualitas pengajaran bahasa Indonesia bagi TKA agar hasilnya lebih efektif,” kata Sainan.

Menurutnya, belajar bahasa bukanlah kewajiban, melainkan kesempatan strategis. “Dengan menguasai bahasa, karyawan punya peluang karier lebih luas dan bisa membangun hubungan kerja yang lebih manusiawi dan produktif,” ujarnya.

Selain kelas rutin, berbagai kegiatan penunjang digelar: lomba cerdas cermat Mandarin, seminar budaya Tiongkok, hingga latihan kaligrafi Cina. Semua bertujuan menumbuhkan rasa percaya diri dan kebersamaan.

Bahasa, yang dulu menjadi pembatas, kini menjadi jembatan. Di Morowali, jembatan itu dibangun bukan dari baja atau nikel, melainkan dari kata-kata yang menyatukan dua bangsa dalam satu ruang kerja yang sama. (*)

Editor: Ruslan Sangadji