“Dan hari ini, ada petani asal Kabupaten Buol yang ditahan di Polres Buol, karena berkonflik dengan perusahaan PT Hardaya Inti Plantation. Miris dan sangat menyakitkan situasi ini,” sesal aktivis perempuan itu.
PALU, KAIDAH.ID – Perampasan tanah baru dengan konflik-konflik agraria sejak tahun 2015 sampai 2020, tak kunjung diselesaikan. Para pejuang agraria di Indonesia juga semakin rawan menghadapi intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi dalam memperjuangkan hak atas tanah masyarakat.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2015 – 2020 setidaknya terjadi 2.288 ledakan konflik agraria, 1.437 orang dikriminalisasi, 776 dianiaya, 75 tertembak, 66 tewas di wilayah konflik agraria.
Koordinator Front Advokasi Sawit (Fras) Sulawesi Tengah (Sulteng), Eva Bande mengatakan, Sulteng menjadi salah satu daerah yang konflik agrarianya semakin meningkat hingga hari ini. Itu terjadi, karena konsekuensi dari masuknya industri pertambangan maupun perkebunan sawit.
“Akibatnya, konflik-konflik di desa-desa di Sulteng semakin mengakar,” kata Eva Bande.
Dia menyontohkan, belum lama ini, petani asal Batui, Kabupaten Banggai datang menghadap Gubernur Sulteng, Rusdy Mastura. Mereka meminta perlindungan atas penetapan tersangka yang dilakukan oleh Polres Banggai terhadap beberapa petani di Batui.
Bukan hanya itu, kata Eva Bande, beberapa waktu sebelumnya, masyarakat asal Petasia Timur, ditahan oleh Polres Morowali Utara setelah dilaporkan oleh PT Agro Nusa Abadi, karena dituduh mencuri sawit milik perusahaan itu.
“Dan hari ini, ada petani asal Kabupaten Buol yang ditahan di Polres Buol, karena berkonflik dengan perusahaan PT Hardaya Inti Plantation. Miris dan sangat menyakitkan situasi ini,” sesal aktivis perempuan itu.
Eva Bande mendesak, agar Kapolda Sulawesi Tengah, Irjen Pol Rudy Sufahriadi tidak mengabaikan surat telegram Kapolri, yang secara substansi mejelaskan, penyelesaian kasus konflik agraria di Indonesia, harus diselesaikan dengan cara-cara mediasi yang damai.
“Tapi fakta di lapangan, para petani ditangkap dalam kasus konflik agrarian itu. Kapolda harus bebaskan mereka semua. Jangan abaikan telegram Kapolri,” tegas penerima Yap Thiam Hien Award itu.
Front Advokasi Sawit yang tergabung dari beberapa organisasi masyarakat sipil itu juga mendesak agar segera hentikan perampasan lahan petani. Pidanakan perusahaan yang merampas tanah-tanah petani.
“Kepada Gubernur Sulawesi Tengah, kami juga menyerukan segera membentuk tim penyelesaian konflik agraria yang independen di Sulawesi Tengah,” tegas Eva Bande. *
Tinggalkan Balasan