Dendam Belanda kepada Raja Tombolotutu semakin membuncah. Mereka menyusun siasat baru dan setahun kemudian atau pada 1901, pasukan penjajah kembali menyerang Raja Tombolotutu dan pengikutnya. Di perang ini, menurut Lukman Nadjamuddin, sebanyak 170 tentara Marsose (tentara elit Belanda) diterjunkan untuk melawan Raja Tombolotutu. Tapi Pasukan Tombolotutu sangat tangguh. Ia tak bisa dikalahkan.
Pada serangan itu, mengharuskan Raja Tombolotutu bersama istrinya, Pua Darawati yang sedang hamil, harus diungsikan oleh ke Kerajaan Sojol. Di pengungsian itulah, Pua Darawati melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Kuti Tombolotutu bergelar Datu Pamusu.
Datu Pamusu itu, kemudian disematkan kepada cucu Raja Tombolotutu yang kini menjabat sebagai Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sulawesi Tengah. Datu Pamusu Tombolotutu yang akrab disapa Us.
Raja Tombolotutu tidak hanya berjuang di wilayah administrasi kerajaannya saja. Tetapi juga menjangkau ke wilayah lain di Sulawes Tengah. Bahkan ia harus mengarungi Teluk Tomini untuk melawan Kolonial Belanda. Gerakan Anti Belanda di Kepulauan Togean terlahir, karena Raja Tombolotutu. Belanda sampai pusing, karena Raja Tombolotutu tak bisa ditangkap.
Raja Tombolotutu juga melintasi Selat Makassar, bahkan mungkin sampai di wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II. Dengan strategi perang gerilya, Raja Tombolotutu juga hutan dan ngarai, sampai ke Banawa, Donggala.
Sejarah mencatat, banyak perang melawan Belanda yang dipimpin Raja Tombolotutu. Dalam diskusi tentang sejarah perlawanan Raja Tombolotutu beberapa tahun lalu, Ketua Tim Riset Pengusulan Raja Tombolotutu sebagai Pahlawan asal Sulteng, Lukman Nadjamuddin menyebutkan nama perang itu adalah Perang Katabang Raja Basar di Lobu Moutong, Perang Dodoe di Gio Atas, Perang Bolano di Benteng Bajo dan Perang Dunduan di Tomini Popa.
Tulisan ini disarikan dari buku Bara Perlawanan di Teluk Tomini, yang ditulis Dr Lukman Nadjamuddin dan kawan-kawan. *
Tinggalkan Balasan