BELANDA YANG PUNYA SYAHWAT besar ingin menguasai dan memonopoli perdagangan di pesisir Teluk Tomini dan mau menguasai Kerajaan Moutong, tak direken oleh Raja Tombolotutu. Long Kontrak dan Korte Verklaring yang disodori Belanda, tak mau diteken oleh Raja Tombolotutu. Dia menentang para kolonialis itu.
Perlawanan Raja Tombolotutu sudah dimulai saat penolakan Long Kontrak dan Korte Verklaring. Peristiwa perlawanan itu terjadi pada 1898 hingga 1904. Kontrak yang diteken oleh Raja Tombolotutu itu membuat Belanda marah besar. Penjajah itu kemudian mengisolasi Kerajaan Moutong.
Belanda menenggelamkan semua kapal yang berlabuh di Pelabuhan Moutong. Seluruh hasil bumi para pribumi di dalam kapal ikut tenggelam. Belanda hanya mau hasil kebun rakyat dijual kepada mereka, dengan harga yang sudah ditentukan oleh Belanda. Belanda mau memonopoli.
Raja Tombolotutu naik pitam. Kemarahannya meledak. Kemarahan Raja Tombolotutu disokong rakyatnya. Kemarahan Raja Tombolotutu, akhirnya menjadi tsunami perlawanan rakyat Moutong terhadap Belanda. Oktober 1898, menjadi awal perlawanan Raja Tombolotutu dan rakyatnya.
Perang 11 hari meletus di Istana Raja Tombolotutu di Lobu. Raja Tombolotutu dan rakyatnya tak punya peralatan perang yang memadai. Raja Tomboloutu kalah perang, tapi ia navatu (kepala batu) dan tak mau takluk dengan Belanda. Tekadnya, penjajah harus angkat kaki dari Moutong. Diputuskanlah untuk melakukan perang gerilya bersama rakyatnya.
Jauh sebelum Jenderal Sudirman mempraktikan Strategi Perang Gerilya melawan Belanda, nun jauh di wilayah utara Sulawesi Tengah, Raja Tombolotutu telah lebih dulu mempraktikkannya. Strategi itu sangat mumpuni, karena Belanda tak berhasil menangkap apalagi menaklukannya.
“Saya bersumpah, tidak menyerahkan sejengkalpun tanah Moutong. Saya juga bersumpah, tidak akan memberikan satu gram emas pun kepada Belanda,” begitu sumpah Raja Tombolotutu.
Karena perang Gerilya, Raja Tombolotutu bersama pengikutnya meninggalkan Moutong. Pulau Walea di Kepulauan Togean, Tojo Unauna menjadi tempat berlabuh setelah kalah perang dengan Belanda. Di pulau itu, tepatnya di Walea Bahe, Raja Tombolotutu kembali menghimpun kekuatan.
Tapi banyak pengkhianat. Para kaum munafik itu menjadi mata-mata Belanda. Persembunyian dan semua gerak-gerik Raja Tombolotutu dan pengikutnya, terdeteksi oleh Belanda. Para penjajah itu mengirim pasukannya, mengejar Raja Tomboltutu dan bala tentaranya ke Walea Bahe. Raja Tombolotutu dan pasukannya melawan. Perang kembali terjadi di pulau itu enam hari lamanya.
Raja Tombolotutu menyusun siasat baru. Bersama pasukannya dan penduduk yang tersisa memutuskan meninggalkan Pulau Walea. Dengan semangat perlawanan yang membara, Raja Tombolotutu dan pasukannya pindah ke Bolano. Agustus 1900, Belanda mengetahui keberadaan Raja Tombolotutu dan pasukannya. Imperialis itu kembali menyerang Raja Tombolotutu. Tapi kali ini Belanda harus menanggung malu karena kalah.
Dendam Belanda kepada Raja Tombolotutu semakin membuncah. Mereka menyusun siasat baru dan setahun kemudian atau pada 1901, pasukan penjajah kembali menyerang Raja Tombolotutu dan pengikutnya. Di perang ini, menurut Lukman Nadjamuddin, sebanyak 170 tentara Marsose (tentara elit Belanda) diterjunkan untuk melawan Raja Tombolotutu. Tapi Pasukan Tombolotutu sangat tangguh. Ia tak bisa dikalahkan.
Pada serangan itu, mengharuskan Raja Tombolotutu bersama istrinya, Pua Darawati yang sedang hamil, harus diungsikan oleh ke Kerajaan Sojol. Di pengungsian itulah, Pua Darawati melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Kuti Tombolotutu bergelar Datu Pamusu.
Datu Pamusu itu, kemudian disematkan kepada cucu Raja Tombolotutu yang kini menjabat sebagai Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sulawesi Tengah. Datu Pamusu Tombolotutu yang akrab disapa Us.
Raja Tombolotutu tidak hanya berjuang di wilayah administrasi kerajaannya saja. Tetapi juga menjangkau ke wilayah lain di Sulawes Tengah. Bahkan ia harus mengarungi Teluk Tomini untuk melawan Kolonial Belanda. Gerakan Anti Belanda di Kepulauan Togean terlahir, karena Raja Tombolotutu. Belanda sampai pusing, karena Raja Tombolotutu tak bisa ditangkap.
Raja Tombolotutu juga melintasi Selat Makassar, bahkan mungkin sampai di wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II. Dengan strategi perang gerilya, Raja Tombolotutu juga hutan dan ngarai, sampai ke Banawa, Donggala.
Sejarah mencatat, banyak perang melawan Belanda yang dipimpin Raja Tombolotutu. Dalam diskusi tentang sejarah perlawanan Raja Tombolotutu beberapa tahun lalu, Ketua Tim Riset Pengusulan Raja Tombolotutu sebagai Pahlawan asal Sulteng, Lukman Nadjamuddin menyebutkan nama perang itu adalah Perang Katabang Raja Basar di Lobu Moutong, Perang Dodoe di Gio Atas, Perang Bolano di Benteng Bajo dan Perang Dunduan di Tomini Popa.
Tulisan ini disarikan dari buku Bara Perlawanan di Teluk Tomini, yang ditulis Dr Lukman Nadjamuddin dan kawan-kawan. *
Tinggalkan Balasan