Dia juga menyoroti soal kritik Indra Lesmana dan kawan-kawan atas keterlibatan swasta dalam membangun infrastruktur sistem pengelolaan royalti. Baginya, keterlibatan swasta dalam bentuk kerjasama BOT sangat relevan. Sama halnya keterlibatan swasta dalam pembangunan infrastruktur di bidang lain.
“Di negara lain, dalam membangun dan mengelola sistem royalti, juga dilakukan oleh organisasi atau badan usaha swasta. Tidak ada negara lain di dunia yang pembangunan sistem dan pengelolaan royalti dilakukan oleh negara,” jelasnya.
PP 56/2021 dan Permenkumhan 20/2022, menurut Adi Adrian, dibuat untuk seluruh musisi dan pencipta lagu di seluruh pelosok negeri, bukan hanya untuk musisi dan pencipta lagu di Jakarta dan kota besar lainnya.
Namun, Indra Lesmana kembali menegaskan, AMPLI menolak segala kebijakan pemerintah yang membuka pintu bagi pihak swasta, untuk mengambil alih peran negara terkait royalti, yang mestinya dijalankan melalui LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional).
“AMPLI mendorong pemerintah untuk membangun sendiri Pusat Data Lagu dan Musik (PDLM), serta Sistem Informasi Musik dan Lagu (SILM) bersama Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham selaku regulator pengelolaan hak cipta,” jelas Indra Lesmana.
Sejumlah musisi lainnya juga masih berbeda pendapat mengenai regulasi royalti tersebut. Badai, kibordis Badai Project juga mengaku bingung dengan tujuan yang ingin dicapai oleh AMPLI.
“Sampai saat ini, gue belum ikut menandatangani petisi tersebut. Gue bingung dengan perbedaan tujuan antara musisi di AMPLI yang menolak regulasi tersebut dengan musisi yang menolak gugatan Musica. Terlalu banyak yang mau dicapai, jadi kita terlihat gak bersatu. Semua mau diubah,” kata Badai yang juga pencipta lagu ‘Melamarmu’ tersebut.
Menurut Badai, ketika bicara harmoni musik, semua dapat disatukan dalam nada. Namun ketika bicara musik membawa kesejahteraan, belum tentu bisa disatukan.
“Itulah mengapa musisi Indonesia masih jauh dari kata sejahtera,” ujarnya. (*)


Tinggalkan Balasan